Pada
masa pemerintahan I Dewa Ketut Ngulesir sebagai Dalem Gelgel dengan gelar Cri
Smara Kapakisan dinobatkan pada Tahun Caka 1302 (tahun 1380 M) dan memerintah
sampai dengan tahun Caka 1382 (tahun 1460 M), I Gusti Tangkas diangkat sebagai Anglurah di Kerthalangu bergelar
I Gusti Pangeran Tangkas. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama I Gusti
Tangkas Dhimadya alias I Gusti Keluwung
Cakti. Sayang, anaknya ini tidak bisa membaca. Kebodohannya ini
berakibat fatal. Pada suatu hari, dalem Gelgel mengirim surat kepada I Gusti
Pangeran Tangkas.
Surat
itu dibawa oleh seorang yang dinyatakan bersalah. Surat itu isinya antara lain
bahwa si pembawa surat harus dihabisi jiwanya oleh I Gusti Pangeran Tangkas.
Namun setibanya perutusan dari Gelgel itu di Kerthalangu, I Gusti Ngurah
Tangkas tidak ada dirumah karena sedang berpikat (mencari burung). Kemudian
surat tersebut diberikan kepada I Gusti Tangkas Dhimadya. Dan si pembawa surat
tadi kembali ke Gelgel dan terhindar dari malapetaka. Sebaliknya, I Gusti
Tangkas Dhimadya menemui nasib malang. Akibat buta huruf, akhirnyamenjadi
korban pembunuhan di tangan ayahnya sendiri. Sebab di dalam surat tersebut
disebutkan siapa yang menyerahkan surat supaya dibunuh. Loyalitas I Gusti
Pangeran Tangkas terhadap Dalem tampaknya tanpa perhitungan, sampai
mengorbankan anaknya tanpa dosa.
Peristiwa
itu menyebabkan I Gusti Pangeran Tangkas putus asa. Selain menyadari
kekeliruannya, ia juga menyalahkan kekeliruan Dalem Gelgel. Akibat perintah
surat itu, pangeran Tangkas kehilangan anak satu-satunya sebagai ahli
waris.Oleh karena itu, ia tidak mau menghadap Dalem ke Gelgel. Dalem Gelgel
mengerti perasaan Pangeran Tangkas. Dalem juga merasa keliru dan kurang
hati-hati. Untuk menghibur bawahannya itu, I Gusti Pangeran Tangkas dihadiahi
seorang istri yang sudah hamil 2 bulan. Pesan Dalem, anak yang akan dilahirkan
itu agar diangkat sebagai ahli waris dan ibunya diperkenankan dipakai istri.
Nama anak yang bakal lahir itu supaya ditambah Kori Agung.
Sesudah
cukup umur kandungan tersebut lahir seorang anak perempuan, lalu diberi nama Ni Luh Tangkas Kori Agung. Setelah
dewasa, Ni Luh Tangkas Kori Agung dikawini oleh Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel.
Sebelum perkawinan itu dilaksanakan, ada permintaan I Gusti Ngurah Tangkas.
Oleh karena itu ia tidak lagi memiliki keturunan, apabila ia meninggal dunia,
agar upacara jenazahnya diselenggarakan oleh Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel.
Jika dari perkawinannya melahirkan putra, supaya diberi nama Pasek dan Bandesa
Tangkas Kori Agung, agar tidak terputus hubungan dengan para leluhur. Sebab I
Gusti Pangeran Tangkas memiliki ibu dari Pasek Bandesa.
Selain
itu I Gusti Pangeran Tangkas menyerahkan rakyat berjumlah 200 kepala keluarga
dan harta benda kekayaanya kepada Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel. Namun permintaan
ini belum disanggupi oleh Kyayi Gusti Pasek Gelgel, karena masih akan
dibicarakan dan minta persetujuan sanak saudara Ki Pasek sekalian. Sesudah
permintaan I Gusti Pangeran Tangkas tersebut disetujui oleh Ki Pasek semua,
maka terjadilah perkawinan antara Kyayi Gusti Pasek Gelgel dengan Ni Luh
Tangkas Kori. Setelah kawin Ni Luh Tangkas Kori ikut pada suaminya di purinya
di Gelgel dan bukan di desa Tangkas. Ini dilakukan sesuai dengan hukum yang
berlaku yaitu purusa (pihak laki-laki). Seluruh rakyat dan harta benda I Gusti
Pangeran Tangkas sejak itu menjadi milik Kyayi Gusti Pasek Gelgel. Kemudian
sesudah I Gusti Pangeran Tangkas meninggal dunia, upacara jenazahnya
diselenggarakan oleh Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel seperti permintaan I Gusti
Pangeran Tangkas dahulu.
No comments:
Post a Comment