Search This Blog

Tuesday, 17 February 2015

KRIMINALITAS DI KOTA BESAR DI INDONESIA

            Kejahatan atau kriminalitas di kota-kota besar sudah menjadi permasalahan sosial yang membuat semua warga yang tinggal atau menetap menjadi resah, karena tingkat kriminalitas yang terus meningkat setiap tahunnya yang juga dapat terkena pada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Sebagai contoh kejahatan yang terjadi di ibukota Jakarta, kejahatan yang banyak terjadi adalah kasus pencurian motor dan kasus pencurian yang bersifat kekerasan. Berdasarkan operasi Sikat Jaya yang dilaksanakan oleh Polda Metro Jaya pada bulan November 2009 di 14 wilayah, telah diungkap 199 kasus yang terdiri dari 35 kasus pemerasan, 17 kasus penjambretan, 24 kasus perjudian, 99 kasus pencurian, dan 24 kasus kejahatan lain. Dengan data di atas ini dapat diperkirakan bahwa kriminalitas di kota Jakarta tinggi, maka kepolisian harus lebih waspada dan meningkatkan penjagaan agar semua warga yang menetap atau tinggal di Jakarta dapat hidup nyaman dan tentram dengan rasa yang aman di lingkungannya.


A.  Pengertian Kekerasan

            Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Kekerasan (Violence berasal dari bahasa Latin violentus yang berasal dari kata vī atau vīs berarti kekuasaan atau berkuasa) adalah dalam prinsip dasar dalam hukum publik dan privat Romawi yang merupakan sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secaraverbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukan dalam rumusan kekerasan ini.
            Sementara menurut Sosiolog, Dr Imam B. Prasodjo dalam,http://bpsntbandung.com. Melihat maraknya kekerasan akhir-akhir ini dipengaruhi oleh banyaknya orang yang mengalami ketertindasan akibat krisis berkepanjangan. Aksi itu juga dipicu oleh lemahnya kontrol sosial yang tidak diikuti dengan langkah penegakkan hukum. Ini, kata Imam, ditanggapi secara keliru oleh para pelaku tindak kejahatan. Kesan tersebut seolah message (tanda) yang diterjemahkan bahwa hal yang terjadi akhir-akhir ini, lebih membolehkan untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut. Sementara itu pada saat kontrol sosial melemah, juga terjadi demoralisasi pihak petugas yang mestinya menjaga keamanan. Aparat yang harusnya menjaga keamanan, justru melakukan tindak pelanggaran. Masyarakat pun kemudian melihat bahwa hukum telah jatuh. Pada saat yang sama masyarakat belum atau tidak melihat adanya upaya yang berarti dari aparat keamanan sendiri untuk mengembalikan citra yang telah jatuh tersebut.
            Sosiolog lain, Sardjono Djatiman dalam,http://bpsntbandung.com memperkirakan masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada hukum, sistem, dan aparatnya. Ketidakpercayaan itu sudah terakumulasi sedemikian lama, karena ketidakadilan telah menjadi tontonan masyarakat sehari-hari. Mereka yang selama ini diam, tiba-tiba memberontak. Ketika negara yang mewakili masyarakat sudah tidak dipercaya lagi, maka masyarakatlah yang akan mengambil alih kendali hukum. Tentunya dengan cara mereka sendiri

B.  Keragaman Jenis dan Definisi Kekerasan

a. Kekerasan yang dilakukan perorangan
          Perlakuan kekerasan dengan menggunakan fisik (kekerasan seksual), verbal (termasuk menghina), psikologis (pelecehan), oleh seseorang dalam lingkup lingkungannya.
b. Kekerasan yang dilakukan oleh negara atau kelompok
            Menurut Max Weber didefinisikan sebagai "monopoli, legitimasi untuk melakukan kekerasan secara sah" yakni dengan alasan untuk melaksanakan putusan pengadilan, menjaga ketertiban umum atau dalam keadaan perang yang dapat berubah menjadi semacam perbuatanan terorisme yang dilakukan oleh negara atau kelompok yang dapat menjadi salah satu bentuk kekerasan ekstrem (antara lain, genosida, dll).
c. Tindakan kekerasan yang tercantum dalam hukum publik
            Yakni tindakan kekerasan yang diancam oleh hukum pidana (sosial, ekonomi atau psikologis (skizofrenia, dll).
d.  Kekerasan dalam politik
          Umumnya pada setiap tindakan kekerasan tersebut dengan suatu klaim legitimasi bahwa mereka dapat melakukannya dengan mengatas namakan suatu tujuan politik (revolusi, perlawanan terhadap penindasan, hak untuk memberontak atau alasan pembunuhan terhadap raja lalim walaupun tindakan kekerasan dapat dibenarkan dalam teori hukum untuk pembelaan diri atau oleh doktrin hukum dalam kasus perlawanan terhadap penindasan di bawah tirani dalam doktrin hak asasi manusia.
e. Kekerasan simbolik (Bourdieu, Theory of symbolic power)
          Merupakan tindakan kekerasan yang tak terlihat atau kekerasan secara struktural dan kultural (Johan Galtung, Cultural Violence) dalam beberapa kasus dapat pula merupakan fenomena dalam penciptaan stigmatisasi.
Kekerasan antara lain dapat pula berupa pelanggaran (penyiksaan,pemerkosaanpemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan - hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda. Istilah "kekerasan" juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.
            Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.
Sejak Revolusi Industri, kedahsyatan peperangan modern telah kian meningkat hingga mencapai tingkat yang membahayakan secara universal. Dari segi praktis, peperangan dalam skala besar-besaran dianggap sebagai ancaman langsung terhadap harta benda dan manusia, budaya, masyarakat, dan makhluk hidup lainnya di muka bumi.
            Secara khusus dalam hubungannya dengan peperangan,jurnalisme, karena kemampuannya yang kian meningkat, telah berperan dalam membuat kekerasan yang dulunya dianggap merupakan urusan militer menjadi masalah moral dan menjadi urusan masyarakat pada umumnya.
            Transkulturasi, karena teknologi moderen, telah berperan dalam mengurangi relativisme moral yang biasanya berkaitan dengannasionalisme, dan dalam konteks yang umum ini, gerakan "antikekerasan" internasional telah semakin dikenal dan diakui peranannya.

C.  Faktor Penyebab Kriminalitas

1.      Tingkat pengangguran yang tinggi membuat orang-orang tidak dapat memenuhi kebutuhan akan kehidupannya, sehingga sering kali orang tersebut mencari jalan pintas agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Contohnya dengan mencuri, memeras, bahkan membunuh. Ini hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah, karena dengan banyaknya pengangguran maka tingkat kriminalitas juga akan terus meningkat.
2.      Kurangnya lapangan pekerjaan membuat tingkat kriminal juga meningkat, karena dengan kurangnya lapangan pekerjaan maka akan menciptakan pengangguran yang banyak. Kurangnya lapangan pekerjaan harus lebih diperhatikan, dan lapangan pekerjaan juga harus dapat mendukung para pekerja untuk dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
3.      Pemahaman tentang keagamaan masih kurang diterapkan, karena dengan kurangnya pemahaman maka sering kali orang-orang tidak kuat akan cobaan yang diberikan kepadanya. Sehingga saat orang tersebut tidak dapat mencukupi ekonominya, maka orang tersebut melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan dan melanggar ajaran agama.
4.      Pergaulan yang tidak sesuai dengan norma-norma kadang membuat perilaku orang tersebut dapat melakukan tindakan kriminalitas, sehingga pendidikan tentang pergaulan dilingkungan harus lebih diperhatikan agar tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai atau tercela.
5.      Kemiskinan yang dialami oleh rakyat kecil kadang membuat mereka berfikir untuk melakukan tindakan kriminalitas, karena orang-orang tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhannya. Dengan tingkat kemiskinan yang terus meningkat, maka akan semakin banyak pula tindakan-tindakan kriminalitas yang meresahkan warga.

D.  Dampak Dari Tindakan Kriminal dan Kekerasan

            Setiap perbuatan pasti memiliki dampak dari perbuatannya. Termasuk juga dalam tindakan kriminal dan kekerasan yang pasti akan berdampak negatif  seperti :
1. Merugikan pihak lain baik material maupun non material
2. Merugikan masyarakat secara keseluruhan
3. Merugikan Negara
4. Menggangu stabilitas keamanan masyarakat
5. Mangakibatkan trauma kepada para korban

E.  Penanganan Kriminalitas Untuk Ke Depan
1.      Pemerintah harus lebih prihatin terhadap para pengangguran, dengan memberikan mereka pekerjaan yang sesuai dengan keahlian dan kompentesinya. Dengan memberikan mereka lapangan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya, maka tingkat kriminalitas di kota-kota dapat teratasi dan mereka akan bersungguh-sungguh karena itu pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka.
2.      Pemerintah dan para pengusaha harus dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang sesuai, sehingga dapat menampung para pengangguran yang masih membutuhkan pekerjaan. Dengan banyaknya lapangan pekerjaan yang diciptakan maka pengangguran akan semakin berkurang dan tingkat kriminalitas dapat teratasi.
3.      Pemahaman akan keagamaan harus lebih diperhatikan oleh setiap orang, dengan tingkat keagamaan yang baik maka orang tersebut dapat mengendalikan dirinya terhadap cobaan yang diterima sehingga orang tersebut dapat hidup sesuai dengan ajaran yang diajarkan di agamanya. Pendidikan agama memang sangat penting untuk menjaga sikap hidup yang baik, dan dapat mengatasi diri terhadap hal-hal yang menjurus kepada kriminalitas.

4.      Setiap orang harus menjaga diri dari pergaulan yang tidak baik, sehingga orang tersebut dapat hidup teratur. Dengan pergaulan yang tidak baik kadang membuat perilaku orang berubah, dan membuat mereka akan dianggap orang-orang yang suka bertindak kriminal. Maka dalam bergaul, setiap orang harus dapat menentukan mana pergaulan yang baik dan mana pergaulan yang akan membawa keburukan.
5.      Besarnya angka kemiskinan kadang berpengaruh dengan tingkat kriminalitas yang tinggi pula, maka pemerintah harus dapat mengendalikan angka kemiskinan agar dapat mengatasi angka kriminalitas. Dengan hidup dibawah taraf kecukupan, maka setiap orang kadang berfikir untuk mengambil jalan pintas yang cepat untuk dapat mencukupi kehidupannya. Jadi pemerintah harus tanggap terhadap permasalahan kemiskinan yang terjadi, supaya tingkat kriminalitas dapat teratasi dengan baik.
Jenis-Jenis Kriminalitas Remaja

Fakta membuktikan bahwa ada beberapa tindakan kriminal yang paling sering
dilakukan oleh remaja. Fakta tersebut diperkuat dengan adanya pemberitaan yang
sering disajikan oleh media massa dewasa ini. Adapun beberapa tindakan kriminal
yang biasa dilakukan oleh remaja adalah sebagai berikut:

1. Tawuran

Tawuran dapat dikatakan sebagai tindakan kriminal jika dilihat dari segi hukum.
Sebab, beberapa dampak yang diakibatkan oleh tawuran adalah penganiayaan,
perusakan, bahkan pembunuhan. Remaja paling sering terlibat dalam tawuran antar
sekolah, kampung, dan antargeng. Umumnya, remaja yang terlibat dalam tindakan
ini adalah remaja putra.

2. Pornografi

Seiring dengan perkembangan seksualitas, remaja sangat rentan untuk jatuh ke
dalam pornografi. Pasalnya, mereka memiliki dorongan seksual yang sangat tinggi
dan membutuhkan suatu pelampiasan. Maka, tidak heran jika kita melihat banyak
sekali anak remaja masa kini yang mulai melakukan tindakan pornografi.

3. Pornoaksi

Kenakalan remaja masa kini bisa dibilang sudah keterlaluan. Seiring perkembangan
teknologi, banyak remaja merekam aktivitas seksual mereka dan kemudian diunggah
di internet supaya dilihat oleh orang lain. Menurut mereka, ada kenikmatan
tersendiri ketika mereka melakukan hal itu.

4. Asusila

Akhir-akhir ini, banyak media massa yang memberitakan kasus pemerkosaan atau
pelecehan seksual lainnya, di mana pelakunya adalah remaja. Hal ini menunjukkan
bahwa kriminalitas tingkat tinggi sudah mulai dilakukan oleh remaja.

5. Narkoba

Berita tentang keterlibatan remaja dalam penggunaan dan peredaran narkoba sudah
menjadi makanan kita sehari-hari. Dari berita tersebut, kita dapat mengasumsikan
bahwa ada banyak remaja yang sudah jatuh ke dalam penggunaan barang haram
tersebut. Ironisnya, saat ini narkoba bukan merupakan barang langka. Kapan pun
dan di mana pun mereka menginginkannya, mereka akan mendapatkannya.

6. Pencurian

Ketika seorang remaja merasa terdesak oleh kebutuhannya (atau sekadar
keinginannya), sering kali mereka mulai melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Misalnya, mencuri sesuatu untuk membeli rokok atau sabu-sabu.

Keenam tindakan kriminal di atas hanyalah sedikit dari sekian banyak tindakan
kriminal yang sering dilakukan oleh remaja masa kini. Masih banyak tindakan
kriminal lain yang sering dilakukan oleh remaja. Dan, satu hal yang perlu kita
garis bawahi bahwa tindakan berdosa menurut standar Alkitab belum tentu termasuk
tindakan kriminal menurut standar hukum pemerintahan. Dengan kata lain, tindakan
remaja yang tidak dianggap melanggar hukum negara, sesungguhnya melanggar hukum
Tuhan.


Kesenjangan sosial dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Kemiskinan

               Kemiskinan adalah penyebab utama terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat. Banyak orang menganggap bahwa kemiskinan adalah suatu suratan takdir atau mereka mereka miskin karena malas, tidak kreatif, dan tidak punya etos kerja. Inti kemiskinan terletak pada kondisi yang disebut perangkap kemiskinan. Perangkap itu terdiri dari :
a) Kemiskinan itu sendiri
b) Kelemahan fisik
c) Keterasingan atau kadar isolasi
d) Kerentaan
e) Ketidakberdayaan

            2.  Kurangnya lapangan kerja
                  
                Lapangan pekerjaan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perekonomian masyarakat, sedangkan perekonomian menjadi faktor terjadinya kesenjangan sosial. Sempitnya lapangan pekerjaan di Indonesia menjadikan pengangguran yang sangat besar di Indonesia dan menyebabkan perekonomian masyarakat bawah semakin rapuh. Salah satu karakteristik tenaga kerja di Indonesia adalah laju pertumbuhan tenaga kerja lebih tinggi ketimbang laju pertumbuhan lapangan kerja. Berbeda dengan negara-negara di Eropa dan Amerika, dimana lapangan pekerjaan masih berlebih. Faktor-faktor penyebab pengangguran di Indonesia:
a. Kurangnya sumber daya manusia pencipta lapangan kerja
b. Kelebihan penduduk/pencari kerja
c. Kurangnya jalinan komunikasi antara si pencari kerja dengan pengusaha
d. Kurangnya pendidikan untuk pewirausaha

                Kesenjangan sosial semakin hari semakin memprihatinkan, khususnya di lingkungan perkotaan. Memang benar jika dikatakan bahwa yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Hal ini jelas-jelas mencederai rasa keadilan serta bertolak belakang dengan kebersamaan dan kesetaraan sosial. Akibat dari semakin meningkatnya kesenjangan sosial adalah:
            A. Melemahnya wirausaha
                  
                        Kesenjangan sosial menjadi penghancur minat ingin memulai usaha, penghancur keinginan untuk terus mempertahankan usaha, bahkan penghancur semangat untuk mengembangkan usaha untuk lebih maju. Hali ini dikarenakan seorang wirausaha selalu di anggap remeh.
           
             B. Terjadi kriminalitas

                             Banyak rakyat miskin yang terpaksa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, seperti mencopet, mencuri, judi, dll.
            Upaya-upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk pemecahan masalah kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia:
a. Menomorsatukan pendidikan
b. Menciptakan lapangan kerja dan meminimalis Kemiskinan
c. Meminimalis KKN dan memberantas korupsi.
d. Meningkatkan system keadilan di Indonesia serta melakukan pengawasan yang ketat terhadap mafia hukum.



B.        Fator-Faktor Kesenjangan Sosial
Kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia diakibatkan beberapa hal yaitu :
a. Kemiskinan
Menurut Lewis (1983), budaya kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah, namun lebih cendrung untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang memiliki seperangkat kondisi:
(1)      Sistem ekonomi uang, buruh upah dan sistem produksi untuk  keuntungan
(2)      tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi  
 tenaga tak terampil
(3)    rendahnya upah buruh 
(4)    tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisiasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah
(5)   sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral, dan
(6)   kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertical, dan sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.
Budaya kemiskinan bukanlah hanya merupakan adaptasi terhadap seperangkat syarat-syarat obyektif dari masyarakat yang lebih luas, sekali budaya tersebut sudah tumbuh, ia cendrung melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi melaui pengaruhnya terhadap anak-anak. Budaya kemiskinan cendrung berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan sosial yang berlapis-lapis rusak atau berganti, Budaya kemiskinan juga merupakan akibat penjajahan yakni struktur ekonomi dan sosial pribumi didobrak, sedangkan status golongan pribumi tetap dipertahankan rendah, juga dapat tumbuh dalam proses penghapusan suku. Budaya kemiskinan cendrung dimiliki oleh masyarakat serta sosial yang lebih rendah, masyarakat terasing, dan warga korban yang berasal dari buruh tani yang tidak memiliki tanah.
Menurut Parker Seymour dan Robert J. Kleiner (1983) formulasi kebudayaan kemiskinan mencakup pengertian bahwa semua orang yang terlibat dalam situasi tersebut memiliki aspirasi-aspirasi yang rendah sebagai salah satu bentuk adaptasi yang realistis.
Beberapa ciri kebudayaan kemiskinan adalah :
(1) fatalisme,
(2) rendahnya tingkat aspirasi,
(3) rendahnya kemauan mengejar sasaran,
(4) kurang melihat kemajuan pribadi ,
(5) perasaan ketidak berdayaan/ketidakmampuan,
(6) Perasaan untuk selalu gagal,
(7) Perasaan menilai diri sendiri negatif,
(8) Pilihan sebagai posisi pekerja kasar, dan
(9) Tingkat kompromis yang menyedihkan. 
Berkaitan dengan budaya sebagai fungsi adaptasi, maka suatu usaha yang
sungguh-sungguh untuk mengubah nilai-nilai yang tidak diinginkan ini menuju ke arah yang sesuai dengan nilai-nilai golongan kelas menengah, dengan menggunakan metode-metode psikiater kesejahteraan sosial-pendidikan tanpa lebih dahulu (ataupun secara bersamaan) berusaha untuk secara berarti mengubah kenyataan kenyataan struktur sosial (pendapatan, pekerjaan, perumahan, dan pola-pola kebudayaan membatasi lingkup partisipasi sosial dan peyaluran kekuatan sosial) akan cendrung gagal. Budaya kemiskinan bukannya berasal dari kebodohan, melainkan justru berfungsi bagi penyesuaian diri.
Kemiskinan struktural menurut Selo Sumarjan (1980) adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan strukturl adalah suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber pada struktur sosial, dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri.
b. Lapangan Pekerjaan
Lapangan pekerjaan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perekonomian masyarakat, sedangan perekonomian menjadi fartor terjadinya kesenjangan sosial. Sempitnya lapangan pekerjaan di Indonesia menjadikan pengangguran yang sangat besar di Indonesia dan merupakan pekerjaan bagi pemerintah saat ini.




JAKARTA- Kesenjangan sosial antara golongan kaya dan miskin menimbulkan persoalan di masyarakat. Sehingga tidak heran angka kriminalitas meningkat lantaran beratnya beban hidup yang ditanggung.

Untuk menekan angka kemiskinan, Yayasan Mizan Amanah menggulirkan program yang bersifat pemberdayaan yaitu program “dhuafa bangkit”.

“Melalui program dhuafa bangkit kami mengajak untuk bersinergi meningkatkan empati untuk sesama. Program ini sebagai salah satu formula menstimulan para dhuafa,” kata Direktur Yayasan Mizan Amanah Andrianto dalam keterangannya, Sabtu (29/6/2013).

Program ini diawali dari pelurusan kembali pola pikir, pemberian keilmuan, bimbingan, dan pemberian modal bergulir kepada kaum dhuafa. Tujuannya agar para dhuafa dapat hidup mandiri, sejahtera, bahkan bisa membantu saudara dhuafa lainnya,

Menurutnya, program pemberdayaan “dhuafa bangkit” tahun ini sudah masuk pada angkatan ke-2 dengan menjaring lebih dari 100 orang calon peserta yang sudah siap untuk mengikuti pelatihan entrepreuner. "Pelatihan ini sangat berguna dan membangkitkan para dhuafa. Agar mereka bisa hidup mandiri dan sejahtera,” sambungnya.

Program ini kata dia sebagai salah satu formula menstimulan para dhuafa. Dimulai dari pelurusan kembali pola pikir, pemberian keilmuan, bimbingan, dan pemberian modal bergulir, dikelola secara sistemik yang dipandu oleh para praktisi dibidangnya.  "Pada akhirnya para dhuafa dapat hidup mandiri, sejahtera, bahkan bisa membantu saudara dhuafa lainnya,” pungkasnya.
(ugo)














Jika ditinjau secara teoritik, ada banyak faktor penyebab terhadap tumbuh dan/atau berkembangnya suatu masalah sosial.

Secara umum, faktor penyebab itu meliputi faktor struktural, yaitu pola-pola hubungan antar-individu dalam kehidupan komunitas; dan faktor kultural, yaitu nilai-nilai yang tumbuh dan/atau berkembang dalam kehidupan komunitas.

Adanya perubahan atas kedua faktor itulah, yang selama ini diteorikan sebagai faktor penyebab utama munculnya suatu masalah sosial. Logika teoritisnya adalah: ketika terjadi perubahan pola–pola hubungan sosial dan/atau perubahan nilai -nilai sosial, m aka sebagian anggota komunitas akan ada yang sangat siap, cukup siap dan bahkan sama sekali tidak siap dalam menerima perubahan itu.

Kesiapan dan/atau ketidaksiapan itulah yang kemudian menyebabkan perbedaan mereka dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan sosialnya. Jika mereka yang tidak siap menerima perubahan itu justru sebagian besar (mayoritas) anggota komunitas, maka muncullah masalah sosial itu. Kata kuncinya dalam konteks ini adalah adaptasi sosial yang dilakukan individu.

Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya. sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain :

1. Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2. Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.

 Akibat dari adanya suatu masalah sosial Jika dicermati secara teoritis dan empiris, berbagai implikasi akan dengan sendirinya muncul sebagai akibat dari adanya suatu masalah sosial dalam suatu komunitas.

1.Akan terjadi konflik dalam komunitas, baik konflik yang menyangkut struktur mau pun kultur atau konflik antara das sein dan das sollen.

2.Akan menyebabkan terjadinya perubahan sosial dalam komunitas, baik perubahan yang menyangkut sistem, struktur maupun kultur itu sendiri.

3.Akan menyebabkan terjadinya polarisasi sosial di mana masing-masing komponen dalam komunitas saling terpisah satu sama lain.

4.Akan menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial di mana masing -masing komponen dalam komunitas mengalami disfungsi.

5.Akan menyebabkan munculnya kasus -kasus lain sebagai akibat dari adanya kesenjangan antara cultural goals dan institutionalized means sebagaimana telah dikemukakan di muka. Untuk mencari bagaimana solusi terbaiknya dalam mengatasi suatu masalah sosial yang tumbuh dan/atau berkembang dalam suatu komunitas memang t idaklah mudah, karena apa pun solusi itu semuanya akan tetap tergantung pada apa akar penyebabnya.

Ditinjau secara metodologis, untuk mencari apa akar penyebab dari suatu masalah sosial biasanya dengan melakukan penelitian secara empiris, baik dalam skala mikro maupun makro.

Penelitian secara mikro misalnya, dilakukan dengan cara melakukan suatu studi kasus. Sedangkan penelitian secara makro, dilakukan dengan cara melakukan survai terhadap suatu masalah sosial. Namun, apa pun skala penelitian yang di -lakukan, semuanya itu akan berupaya untuk menemukan apa akar penyebab dari suatu masalah sosial.

Berbagai kegagalan atau setidak-tidaknya disebut sebagai kurang efektifnya dalam mengatasi suatu masalah sosial biasanya dikarenakan kurangnya pemahaman secara empiris tentang dinamika perkembangan suatu komunitas.

referensi :
http://leniuntari.blogspot.com/2013/03/masalah-sosial-remaja-latar-belakang_12.html


No comments:

Post a Comment