Search This Blog

Tuesday, 17 February 2015

Makalah Agresi Militer Belanda 2



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pada bulan-bulan Oktober 1946 telah dilaksanakan perundingan-perundingan hingga disepakati suatu gencatan senjata di Jawa dan Sumatera. Pada bulan November 1946, di Linggajati (didekat Cirebon)dilaksanakan persetujuan yaitu “persetujuan Linggajati”. Namun persetujuan perdamaian ini hanya berlangsung singkat. Kedua belah pihak saling tidak mempercayai dan mengesahkan persetujuan itu sehingga menimpulkan pertikaian-pertikaian politik yang sengit mengenai konsesi-konsesi yang telah dibuat. Setelah selesai perundingan di Linggajati bulan November 1946, di samping terus memperkuat angkatan perangnya di seluruh Indonesia terutama di Jawa dan Sumatera, untuk mengukuhkan kekuasaan mereka di wilayah Indonesia Timur, sebagai kelanjutan “Konferensi Malino” 15–25 Juli 1946, van Mook menyelenggarakan pertemuan lanjutan di Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946. Kemudian Belanda menggelar “Konferensi Besar” di Denpasar tanggal 18–24 Desember 1946, dimana kemudian dibentuk negara Indonesia Timur.  Tindakan Van Mook membenarkan keragu-raguan pemerintah dan rakyat Indonesia tentang kesetiaan Belanda dalam melaksanakan persetujuan Linggajati. Perundingan Linggarjati bagi Belanda hanya dijadikan alat untuk mendatangkan pasukan yang lebih banyak dari negerinya.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimana kronologis terjadinya agresi militer Belanda 2 ?
1.2.2        Apa tujunan Belanda melakukan agresi militer 2 ?
1.2.3        Apa dampak yang ditimbulkan dengan adanya agresi militer Belanda 2 bagi Indonesia ?
1.2.4        Bagaimana perjuangan bangsa Indonesia terhadap agresi militer Belanda 2 ?


1.3  Tujuan Pembuatan Makalah
1.3.1        Untuk mengetahui kronologis ataupun awal mula terjadinya agresi militer Belanda 2 di Indonesia
1.3.2        Untuk menambah wawasan siswa tentang terjadinya agresi militer Belanda 2 yang di alami bangsa Indonesia.

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Kronologis terjadinya agresi militer Belanda 2
Pelaksanaan hasil Perundingan Renville mengalami kemacetan. Upaya jalan keluar yang ditawarkan oleh KTN selalu mentah kembali karena tidak adanya kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Indonesia melalui Hatta (wakil presiden merangkap perdana menteri) tetap tegas mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara Belanda terus berupaya mecari cara menjatuhkan wibawa Indonesia. Saar ketegangan semakin memuncak Indonesia dan Belanda mengirimkan nota kepada KTN. Nota itu sama-sama berisi tuduhan terhadap pihak lawan yang tidak menghormati hasil Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang tengah malam pada tanggal 18 Desember 1948, Wali Tinggi Kota Mahkota Belanda Dr. Beel mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville. Sementara itu keadaan dalam negeri sudah sangat tegang berhubung dengan oposisi yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (PKI dan sekutunya) terhadap politik yang dijalankan oleh Kabinet Hatta. Oposisi ini meningkat setelah seorang tokoh komunis kawakan, Muso, yang memimpin pemberontakan PKI tahun 1926, kembali ke Indonesia dari Uni Soviet. Muso sejak mudanya memang selalu bersikap radikal dan ia yang mendorong PKI untuk memberontak pada tahun 1926. Oposisi terhadap kabinet Hatta mencapai pucaknya ketika Sumarsono, pemimpin Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) mengumumkan pembentukan pemerintahan Soviet di Madiun tanggal 18 September 1948. Pemberontakan ini segera ditumpas pemerintah Republik. Belanda hendak mempergunakan pemberontakan PKI itu sebagai alasan yang sangat baik untuk menyerang Republik dengan dalih membantu Republik melawan komunisme.

Sebelum pasukan-pasukan Republik dapat beristirahat setelah beroperasi terus-menerus melawan PKI, Belanda menyerang lagi. Dini hari tanggal 19 Desember, pesawat terbang Belanda memborbardir Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan sejumlah bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali agresi militer Belanda 2. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara. Dalam waktu singkat, Yogyakarta ibu kota RI ketika itu, dapat dikuasai.Dalam suasana genting, pemerintah RI mengadakan rapat kilat dan menghasilkan keputusan darurat seperti berikut:
1         Melalui radiogram, pemerintah RI memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Sumatera.
2         Presiden dan wakil presiden RI tetap tinggal dalam kota dengan resiko ditangkap Belanda, agar dekat dengan KTN (yang sekarang berada di Kaliurang).
3         Pimpinan TNI menyingkir keluar kota dan melancarkan perang gerilya dengan membentuk wilayah pertahanan (sistem wehkreise) di Jawa dan Sumatera. Setelah menguasai Yogyakarta, pasukan Belanda menawan presiden, dan sejumlah pejabat. Soekarno diasingkan ke Prapat, Hatta ke Bangka, tetapi kemudian Soekarno dipindahkan keBangka. Sementara itu, Jenderal Soedirman memimpin TNI melancarkan perang gerilya di kawasan luar kota.
Seperti kejadian sebelumnya dalam Perundingan Linggarjati, pelaksanaan hasil Perundingan Renville mengalami kemacetan. Upaya jalan keluar yang ditawarkan oleh KTN selalu mentah kembali karena tidak adanya kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Indonesia melalui Hatta (wakil presiden merangkap perdana menteri) tetap tegas mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara Belanda terus berupaya mecari cara menjatuhkan wibawa Indonesia. Saar ketegangan semakin memuncak Indonesia dan Belanda mengirimkan nota kepada KTN. Nota itu sama-sama berisi tuduhan terhadap pihak lawan yang tidak menghormati hasil Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang tengah malam pada tanggal 18 Desember 1948, Wali Tinggi Kota Mahkota Belanda Dr. Beel mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville. Dini hari tanggal 19 Desember 1948, pesawat terbang Belanda membombardir Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan sejumlah bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali agresi militer Belanda II. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara. Dalam waktu singkat, Yogyakarta, ibu kota RI ketika itu, dapat dikuasai.
(wiki/agresi_militer_belanda_II/2014/)



2.2 Tujuan Belanda Mengadakan Agresi Militer 2
            
Adapun tujuan Belanda mengadakan Agresi Militer yang kedua ialah ingin menghancurkan kedaulatan Indonesia dan mengusai kembali wilayah Indonesia dengan melakukan serangan militer terhadap beberapa daerah penting di Yogyakarta sebagai ibu kota Indonesia pada saat itu. Pihak Belanda sengaja membuat kondisi pusat wilayah Indonesia tidak aman sehingga akhirnya diharapkan dengan kondisi seperti itu bangsa Indonesia menyerah dan bersedia menuruti ultimatum yang diajukan oleh pihak Belanda. Selain itu bangsa Indonesia juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa RI dan TNI-nya secara de facto tidak ada lagi





2.3 . Dampak Agresi Militer Belanda 2 bagi Bangsa Indonesia
            Adanya Agresi Militer kedua yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia yaitu mengakibatkan dihancurkannya beberapa bangunan penting di Yogyakarta, bahkan Yogyakarta yang pada saat itu sebagai ibu kota Indonesia juga mampu dikuasai oleh Belanda. Selain itu presiden dan wakil presiden beserta sejumalh pejabat pemerintah Indonesia berhasil ditawan kemudian diasingkan oleh pihak Belanda.
(sayyidanchiam./2012/)




2.4 Perjuangan Bangsa Indonesia Terhadap Agresi Militer Belanda 2

2.4.1 Keampuhan Strategi Diplomasi
            Dengan melancarkan agresi militernya yang kedua, Belanda ingin menunjukkan kepada dunia bahwa RI beserta TNI-nya secara de facto tidak ada lagi. Tujuan Belanda itu dapat digagalkan oleh perjuangan diplomasi. Para pejuang diplomasi antara lain Palar, Sujatmoko, Sumitro, dan Sudarpo yang berkeliling di luar negeri. Tindakan yang dilakukan dalam perjuangan diplomasi antara lain sebagai berikut.
·         Menunjukkan pada dunia internasional bahwa agresi militer Belanda merupakan bentuk tindakan melanggar perjanjian damai (hasil Perundingan Renville).
·         Meyakinkan dunia bahwa RI cinta damai, terbukti dari sikap, mentaati hasil Perundingan Renville dan penghargaan terhadap KTN.
·         Membuktikan bahwa RI masih berdaulat dengan fakta masih berlangsungnya pemerintahan melalui PDRI dan keberhasilan TNI menguasau Yogyakarta selama 6 jam (Serangan Oemoem 1 Maret).
Kerja keras perjuangan diplomasi mampu mengundang simapti internasional terhadap Indonesia. Amerika Serikat mendesak Belanda untuk menarik mundur pasukannya dari wilayah RI (dengan ancaman menghentikan bantuannya). Dewan Keamanan PBB mendesak Belanda untuk menghentikan operasi militer dan membebaskan para pemimpin Indonesia. Desakan yang gencar dari dunia internasional akhirnya dapat membuat Belanda mengakhiri militernya kedua.

2.4.2 Pemerintahan Darurat Republik Indonesia


            Sebelum pasukan Belanda memasuki istana kepresidenan, Presiden Soekarno mengintruksikan kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara (yang kebetulan berada di Sumatera) untuk membentuk pemerintahan darurat, jika pemerintah RI Yogyakarta tidak dapat berfungsi lagi. Sesuai dengan instruksi itu, Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia. PDRI berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Kabinet PDRI
·         Ketua perdana menteri merangkap menteri pertahanan dan penerangan: Syafruddin Prawiranegara.
·         Menteri luar negeri: A. A. Maramis
·         Menteri pendidikan dan kebudayaan merangkap menteri dalam negeri dan agam: Teuku Moh. Hasan.
·         Menteri keuangan merangkap menteri kehakiman: Lukman Hakim.
·         Menteri sosial dan perburuhan, pembangunan, organisasi pemuda dan keamanan: Sutan Rasyid.
·         Menteri pekerjaan umum merangkap menteri kesehatan: Ir. Sitompul.
·         Menteri perhubungan merangkap menteri kemakmuran: Ir. Inderacaya.
Selama agresi militer 2, Belanda terus menerus memprogandakan bahwa pemerintahan di Indonesia sudah tidak ada lagi. Propaganda dapat digagalkan oleh PDRI. PDRI berhasil menunjukkan kepada dunia internasional bahwa pemerintahan dalam tubuh RI masih berlangsung. Bahkan, pada tanggal 23 Desember 1948, PDRI mampu memberikan instruksi lewat radio kepada wakil RI di PBB. Isinya, pihak Indonesia sekaligus mengundang simapti internasional.
            Atas dasar keberhasilan itu, para pemimpin PDRI sempat kecewa dengan tindakan para pemimpin RI di Bangka yang mengadakan perundingan dengan Belanda tanpa sepengetahuan mereka. Mereka juga tidak menyetujui hasil Perundingan Roem-Roijen yang cenderung melemahkan wibawa Indonesia. Para pemimpin PDRI yakin bahwa kedudukan Indonesia telah kuat sehingga mampu lebih banyak kepada Belanda.
            Untuk menyelesaikan perbedaan pandangan, berlangsung pertemuan antara para pemimpin PDRI dan pemimpin RI yang pernah ditawan di Bangka. Pertemuan itu berlangsung pada tanggal 13 Juli 1949 di Jakarta. Hasil pertemuan itu adalah sebagai berikut.
~        PDRI menyerahkan keputusan mengenai hasil Perundingan Roem Roijen kepada kabinet, Badan Pekerja KNIP, dan pimpinan TNI.
~        Pada hari itu juga, Syafruddin Prawiranegara menyerahkan mandat secara resmi kepada Wakil Presiden Hatta.
(sayyidanchiam./2012/)












BAB 3
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
            Agresi militer merupakan bentuk rill bahwa Belanda melanggar perjanjian Internasional. Dalam agresi ini Belanda mencoba menguasai kota-kota, pelabuhan, dan perkebunan yang dianggap penting bagi Indonesia. Penculikan terhadap pemimpin-pemimpin termasuk presiden Sukarno menjadi salah satu modus Belanda selain menguasai daerah-daerah penting. Pelanggaran yang dilakukan Belanda ini mendapat simpati dari luar negeri termasuk PBB yang akhirnya mengeluarkan resolusi-resolusi. Perjuangan dari para pahlawan serta dukungan internasional yang mampu melepaskan Indonesia dari agresi Belanda tersebut

3.2 Saran
            Kami berharap makalah ini bermanfaat bagi semua orang. Dalam tugas-tugas berikutnya kami berharap sekali ada panduan dari bapak atau ibu guru pembimbing agar kami tidak kesulitan memperoleh data. Kami berharap juga adanya saran bagi para pembaca untuk kami kedepannya.
                                                                                                                                   


                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       

                                                                                                                                   

1 comment: