Astanga yoga merupakan salah satu jalan untuk memperoleh
penyatuan dengan Tuhan melalui latihan yang sangat keras dan teratur, sehingga
apa yang menjadi tujuan kita tercapai. Yoga bukan merupakan tradisi yang mati,
yang kemudian stagnan tanpa perubahan, melainkan selalu berubah dan
dieksplorasi oleh para pelakunya, sehingga senantiasa menghasilkan perubahan
yang dianggap lebih efektif. Ada banyak aliran dalam yoga, karena yoga bukan
merupakan satu kesatuan utuh. Melainkan pendapat dan latihan setiap alirannya
berbeda dan tidak dapat didamaikan. Jadi, ketika kita berbicara tentang yoga,
artinya kita membicarakan tentang banyak aliran dalam yoga. Satu aliran yang
paling senior, terkenal dan berpengaruh adalah aliran Patanjali yang dikenal
dengan Raja Yoga. Dan aliran ini yang akan kami bicarakan di sini, karena jika
harus menguraikan perdebatan berbagai aliran, akan sangat menyita waktu.
Patanjali,
dalam Kita Yoga Sutras, memuat penjelasan tentang delapan aspek yoga yang
dikenal dengan ashtanga-yoga. Kedelapan ruas ini, seringkali digambarkan
sebagai tangga yang membimbing kehiudpan biasa menuju realisasi Diri dan
melampaui personalitas ego.
Delapan jalan
menuju ‘penyatuan’ Asthanga-yoga dan Etika dalam ajaran Yoga
Tujuan Yoga
ialah untuk mengembalikan Citta itu dalam keadaannya yang semula, yang murni tanpa perubahan, sehingga dengan
demikian purusa itu dibebaskan dari kesengsaraannya. Sementara menurut Matius Ali, Tujuan Yoga Patanjali adalah mencapai kebebasan
melalui konsentrasi dan Samadhi. Istilah teknis untuk pencapaian ini adalah
‘pembebasan’ (kaivalya). Menurut Sri Aurobindo, Raja-Yoga bertujuan untuk mencapai pembebasan dan
penyempurnaan diri mental, yakni pengendalian seluruh perangkat pencerapan,
emosi, pikiran dan kesadaran.
Mahārși Patañjalidalam kitab Yoga
Sutrasmenyusun ‘8 ruas yoga’ (Asthanga-yoga) sebagai sebuah metode
spiritualitas praktis dalam Yoga Sutras (2.29)
1.
Disiplin
Moral (Yama)
2.
Disliplin
Diri (Niyama)
3.
Postur Tubuh
(asana)
4.
Pengendalian
Napas (pranayama)
5.
Pengendalian
Indera (Pratyahara)
6.
Konsentrasi
(Dharana)
7.
Meditasi (Dhyana)
8.
Ekstasis (Samadhi)
Agar purusa
itu bisa dilepaskan dari ikatan prakrti,
orang harus dapat menindas wrtti itu, yaitu dengan meniadakan klesa-klesa. Sebab klesa itu mewujudkan satu
fungsi yang menjadi dasar pembentukan karma, yang menimbulkan awidya
atau ketidak-tahuan. Di dalam kehidupan kejiwaan manusia, terdapat suatu
perputaran yang tidak putus, yaitu perputaran wrtti,
kecenderungan-kecenderungan, klesa-klesa, awidya dan seterusnya. Tujuan
Yoga ialah untuk mematahkan perputaran yang tidak putus ini, dengan
perlahan-lahan meniadakan klesa-klesa dan memberhentikan wrtti.
Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui usaha (abhyasa) yang
terus-menerus dan keadaan tanpa nafsu (wairagya). Manusia dapat
melepaskan diri dari nafsu melalui usaha dan latihan yang panjang sehingga
dapat membedakan antara pribadi dengan yang bukan pribadi, melalui asthanga-yoga.
Delapan
aspek asthanga-yoga ini dapat dibagi menjadi dua bagian yang besar,
yaitu: pertama,mulai dari yama sampai pratyahara disebut
pertolongan-pertolongan yang tak langsung atau yang dari luar (bahiranga);
dan mulai dari dharana sampai Samadhi, yang disebut
pertolongan-pertolongan yang langsung dari dalam (antaranga)
Kedelapan
aspek yoga tersebut dapat dilihat dari dua perspektif, yakni: pertama, sebagai
unifikasi kesadaran yang tumbuh; kedua, sebagai pemurnian diri yang progresif.
Kedua sudut pandang ini tercermin dalam Yoga-Sutras.
1.
Disiplin Moral atau Pengekangan Diri (Yama)
Definisi Yama yang dijelaskan dalam
Yoga Sutras (2.30): “Yama teridiri atas tanpa kekerasan, kebenaran, tidak
mencuri, selibat dan ketidak-tamakan (ahimsa satyasteya bramacaryaparigraha
yamah). Seperti juga semua spiritualitas otentik, fondasi yoga dibangun
atas sebuah etika universal. Karenanya, ruas pertama yoga Patanjali bukanlah
postur tubuh atau meditasi, melainkan disiplin moral (yama). Kelima bagian Yama adalah:
a.
Tanpa kekerasan (ahimsa)
Dari semua kewajiban moral, ‘tidak
menyakiti’ adalah yang paling utama. Kata ahimsa seringkali diterjemahkan
sebagai tidak membunuh, namun ini tidak memberikan arti yang penuh dari kata
ahimsa. Dalam Yoga Sutras (2.35), ahimsa didefinisikan sebagai:
“Jika ahimsa sudah
dilaksanakan secara mantap, maka semua kebencian akan terhenti.”
Sebenarnya ahimsa adalah ‘tanpa
kekerasan’ baik di dalam pikiran maupun dalam tindakan. Ia menjadi dasar dari disiplin yang lain. Keinginan untuk tidak menyakiti yang
lain bersumber dari dorongan kea rah unifikasi dan tansendensi sang ego.
b.
Kebenaran (satya)
‘Kebenaran’ (satya) seringkali
ditinggalkan dalam literatur etika dan yoga. Karena bagi orang yang sudah
menjalankan kebenaran, kejujuran, semua tindakan serta akibatnya akan tunduk
padanya. Dalam Yoga Sutras dikatakan bahwa:
“Bagi orang yang sudah menjalankan kebenaran dan kejujuran, semua tindakan
serta akibatnya ada di bawah kendali dirinya.”
Satya yaitu jujur baik dalam perkataan maupun dalam
pikiran.
c.
Tidak Mencuri (Asteya)
‘Tidak mencuri’ (asteya) terkait
erat dengan ahimsa, karena pemilikan benda berharga secara tidak benar,
melanggar hak orang yang ia curi. Menurut Yoga Sutras, asteya dapat
didefinisikan:
“Jika asteya
sudah ditanamkan, maka semua kekayaan akan datang.”
d.
Kesucian-Kemurnian atau mengendalikan nafsu jasmani dan nafsu asmara (brahmacarya)
‘Selibat’ (brahmacarya) secara
harfiah berarti ‘tingkah laku Brahmana’ merupakan hal penting yang inti dalam
kebanyakan tradisi spiritual dunia, walaaupun ditafsirkan secara berbeda. Dalam
Yoga Sutras (2.38) Brahmacarya dijelaskan sebagai berikut:
“Dengan menjalankan
brahmacarya, orang mendapatkan kekuatan.”
Dalam sistem Yoga, selibat
didefinisikan dalam istilah asketisme yakni menahan diri dari aktivitas
seksual, baik dalam perbuatan maupun dalam pikiran. Secara umum, rangsangan
seksual dianggap menghambat dorongan ke arah pencerahan.
e.
Ketidaktamakan (Aparigraha)
‘Ketidaktamakan’ (aparigraha)
didefinisikan sebagai ‘tidak menerima hadiah’, karena hadiah tersebut
menimbulkan keterikatan serta rasa takut akan kehilangan. Jadi, para yogi
dianjurkan untuk menumbuhkan kesederhanaan dengan sengaja. Terlalu banyak
kepemilikan akan mengganggu pikiran. Penyangkalan diri (renunciation) merupakan
sebuah aspek integral dari kehidupan seorang Yogi. Yoga Sutras (2.39)
memberikan definisi aparigraha sebagai berikut:
“jika aparigraha sudah
tertanam, maka akan datang sebuah iluminasi menyeluruh tentang bagaimana dan
mengapa seseorang dilahirkan.”
Jika diikuasai sepenuhnya, maka masing-masing dari
kelima keutamaan dapat membeirkan kekuatan paranormal (siddhi). Sebagai contoh,
penguasaan ahimsa akan menciptakan aura kedamaian di sekitar diri sang yogi
yang dapat menetralisir semua rasa permusuhan serta penguasaan kebencian.
Melalui kebenaran (satya) seorang praktisi yoga
mendapatkan kekuatan dengan selalu mewujudkan kata-katanya. Penguasaan
keutamaan ‘tidak mencuri’ (asteya) mendatangkan segala macam harta tanpa usaha
yang keras, sedangkan ‘ketidaktamakan’ (aparigraha merupakan kunci untuk
memahami kelahiran mereka sekarang, masa depan dan sebelumnya.
2.
Disiplin Diri (Niyama)
Ruas kedua Raja-yoga Patanjali,
yakni: ‘disliplin diri’ (niyama), bertujuan untuk mengendalikan energi
psiko-fisis yang ditimbulkan dari pengendalian diri kehidupan batin para yogi.
Jika kelima disiplin moral (yama) bertujuan mengatur latihan displin
yang teratru sebagai unsur konstitutif keselarasan dengan dengan manusia lain,
maka kelima aturan ‘disiplin diri’ (niyama) bertujuan menyelaraskan
hubungan kelima disiplin diri dengan kehidupan secara menyeluruh dan dengan
Realitas Transendental.
Dalam Yoga-Sutras (2.32) Niyama
dijelaskan sebagai:
“Niyama terdiri atas kemurnian diri,
berpuas diri, askese, studi teks spiritual dan penyerahan diri pada Tuhan.”
Kelima latihan niyama adalah:
1.
Kesucian atau kemurnian (shauca)
‘Kemurnian diri’ (sauca) merupakan
kata kunci dalam spiritualitas yoga. Karenanya, tidaklah mengherankan bahwa
kemurnian diri termasuk dalam daftar pertama dari kelima disiplin diri. Dalam Yoga
Sutras (2.40) dijelaskan:
“Melalui pemurnian diri timbul
kemuakan terhadap tubuh sendiri dan terhadap sentuhan dari tubuh yang lain.”
2.
Berpuas Diri (Samtosha)
Berpuas diri artinya tidak
menginginkan lebih dari apa yang sudah dimiliki. Karena itu, berpuas diri
merupakan keutamaan yang bertentangan dengan mentalitas konsumerisme modern
yang didorong oleh kebutuhan untuk selalu mendapatkan lebih dari mengisi kekosongan
batin. Berpuas diri adalah ungkapan dari penyangkalan diri, yakni
pengorbanan secara sukarela akan apa yang menurut takdir akan diambil dari kita
pada saat kematian. Samtosha membuat para yogi mengalami keberhasilan atau
kegagalan, susah atau senang dengan ketenangan hati. Dalam Yoga Sutras (2.42) samtosha
dijelaskan sebagai:
“Dengan berpuas diri, kegembiraan tertinggi dicapai”
Di sini, kita harus mengerti
perbedaan antara ‘berpuas diri’ (contentment) dengan ‘kepuasan diri’
(satisfaction). Berpuas diri artinya menjadi diri kita seperti apa adanya, tanpa
mencari kebahagiaan dari benda-benda di luar. Jika sesuatu datang, kita biarkan
ia datang. Jika tidak, ya tidak masalah. Berpuas diri artinya bersikap apa
adanya, yakni tidak menyukai dan juga tidak membenci.
3.
Askese (Tapas)
Askese merupakan unsur atau komponen
ketiga dari niyama dan mencakup latihan, seperti: berdiri atau duduk
diam dalam waktu lama; menahan kelaparan, kehausan serta panas dan dingin,
berdiam diri, serta berpuasa. Kata tapas berarti ‘berkilau’, ‘panas’ dan
merujuk pada energi psikosomatis yang dihasilkan dari latihan asketisme yang
seringkali dialami sebagai rasa panas. Para yogi menggunakan energi ini utuk
memanaskan kawah energi tubuh dan pikiran mereka, sampai menghasilkan kesadaran
yang lebih luhur.
Dalam Yoga Sutras (3.46) tapas
dijelaskan:
“Sebagai hasil latihan samyama akan
datang, pencapaian anima serta kekuatan lain, seperti kesempurnaan tubuh,
menjadi kebal terhadap umur tertentu” (Y.S. 3.46)
Askese tidak boleh dikacaukan dengan
penyiksaan diri. Dalam Bhagavad-Gita (17.14-19), dibedakan tiga macam
asketisme, tergantung pada kecenderungan dari ketiga kualitas alam (gunas):
“Penyembahan pada dewa-dewa,
terhadap sulinggih, para guru dan orang bijaksan, kesucian, kejujuran,
brahmachari, ahimsa, hal-hal ini disebut ujian (tapas) atas tubuh”. (Gita.
17.14)
“Ucapan kata-kata yang tidak
menyakitkan hati, bebas dari hinaan, yang mengandung kebenaran, menyenangkan
dan bermanfaat dan pengucapan Weda dengan teratur, inilah yang disebut ujian
(tapas) dari ucapan” (Gita. 17.15)
“Ketenangan pikiran,
kelemah-lembutan, baik hati, pendiam, penguasaan diri, kesucian hati, ini
disebut pertapaan pikiran” (Gita. 17.16)
“Ketiga macam pertapaan yang
dilakukan dengan kepercayaan yang teguh oleh mereka yang pikirannya kuat untuk
tidak menghendaki buahnya, dikatakan sattwika, baik” (Gita. 17.17)
“Pertapaan yang dilakukan dengan
tujuan untuk mendapatkan kehormatan, dan hanya sebagai pameran belaka,
dikatakan Rajasika, dan adalah goyah dan tidak panjang umurnya” (Gita. 17.18)
“Pertapaan yang dilakukan dengan
kebodohan, keras kepala dengan jalan penyiksaan diri dan untuk menyakiti orang
lain adalah Tamasika, bodoh” (Gita. 17.19)
4.
Studi Teks Spiritual (Svadhyaya)
‘Studi teks spiritual’ merupakan
komponen keempat dari niyama yang merupakan latihan yoga yang penting. Kata svadhyayayang
dibangun dari kata sva yang berarti ‘sendiri’ dan adhyaya, artinya ‘masuk ke
dalam’. Kata ‘studi’ merujuk pada pencarian makna tersembunyi dari teks kitab
suci. Tujuan svadhyaya bukanlah sebuah pembelajaran intelektual, melainkan
penerapan ke dalam kearifan kuno. Svadhyaya merupakan sebuah renungan meditatif
mengenai kebenaran yang dibukakan oleh para Rishi dan arif bijaksana yang telah
berjalan ke wilayah di mana pikiran tidak dapat mengikuti serta hanya hati yang
menerima. Dalam Yoga Sutras (2.44) dikatakan bahwa:
“Dengan mempelajari teks-teks spiritual, akan terjadi penyatuan dengan
dewa-dewi yang disembah”.
5.
Penyerahan diri pada Tuhan (Ishwara-pranidhana)
Unsur terakhir dari Niyama adalah
Ishwara-pranidhana, artinya penyerahan diri secara menyeluruh kepada Tuhan
(Ishwara). Dalam Yoga Sutras dijlaskan bahwa:
“ Melalui penyerahan diri secara menyeluruh, samadhi
dicapai”
Ishwara adalah salah satu dari Diri
transendental yang satu dan banyak (purusha). Menurut definisi yang diberikan
Patanjali, status Ishwara yang luar basa diantara banyak diri disebabkan oleh
fakta bahwa Ia tidak akan pernah tunduk pada ilusi yang menghilangkan
kemahatahuan serta kemahahadiran-NYa. DIri bebas yang lain, pernah sekali waktu
mengalami kehilangan kemahatahuan dan kemaha-hadiran-Nya ketika mereka
menganggap diri mereka sebagai sebuah personalitas egois partikular atau
tubuh-pikiran terbatas. Secara inheren, semua diri adalah bebas, namun hanya
Ishwara yang sadar akan kebenaran ini.
3.
Postur Tubuh (asana)
Secara harfiah, kata asana berarti
‘dudukan’. Kedua komponen dari ‘delapan ruas yoga’ (ashtanga yoga) Patanjali,
yakni yama dan niyama, berfungsi mengatur kehidupan sosial serta personal para
praktisi yoga. Yama dan niyama adalah sebuah usaha untuk mengurangi terjadinya
keinginan serta tindakan tidak baik, sehingga tidak menambah timbunan karma
buruk yang baru dalam kehidupan ini.
Tujuan dari latihan yama dan niyama
adalah untuk menghilangkan semua karma, yaitu semua penyebab subliminal yang
tertanam di dalam jiwa (psyche). Untuk mewujudkan sebuah transformasi
kesadaran, seorang yogi harus menciptakan kondisi lingkungan yang benar, baik
di dalam maupun di luar diri. Yama-niyama merupakan langkah awal untuk untuk
menciptakan kondisi lingkungan yang benar, sedangkan latihan berbagai postur
tubuh (asanas) adalah sebuah usaha untuk mengangkat tubuh ke tahap berikutnya.
Secara esensial, asanas adalah sebuah latihan untuk memurnikan dan mendiamkan
tubuh fisik. Dalam Yoga Sutras (2.46), dikatakan
bahwa: “Postur tubuh haruslah dalam
kondisi stabil dan enak”.
Dengan melipat anggota tubuhnya,
para yogi segera mencapai perubahan suasana dan ketenangan dalam batin.
Ketenangan ini membantu untuk mempermudah proses konsentrasi pikiran.
Sekelompok asanas membentuk semacam
‘simbol’ (mudras) yang memiliki makna simbolis. Bentuk mudras ini memilki
potensi kuat untuk mengubah kondisi sang yogi, karena mempengaruhi sistem kerja
kelenjar endokrin tubuh. Namun melalui latihan yang teratur, praktisi yoga akan
dapat menemukan perubahan yang terjadi sebagai akibat dari asana tertentu.
Menurut Patanjali, latihan asanas yang teratur dan benarakan menghilangkan sensitifitas
terhadap dualisme ganda, seperti: panas dan dingin, terang dan gelap, hening
dan ribut.
4.
Pengendalian Napas (pranayama)
Kata prana berarti ‘daya hidup’ (life
force), ‘vitalitas’. Kata prana seringkali diterjemahkan sebagai ‘napas’ (breath)
dan ‘hidup’ (life), padahal sebenarnya napas merupakan sebuah manifestasi luar
dari prana, yakni daya hidpu yang menembus serta menopang semua kehidupan. Pranayama
merupakan komponen ke-empat dari ‘delapan ruas yoga’ Patanjali.
‘Seluruh petualangan yoga berpuasa
pada pengolahan prana’. Ini menunjukkan pentingnya pranayama dalam
proses yoga.
Teknik pranayama adalah sebuah cara
sistematis yang dikembangkan oleh para yogi untuk untuk mempengaruhi medan
bioenergi tubuh. Bahkan latihan disiplin moral (yama), pengendalian diri
(niyama), pengendalian indera (pratyahara) dan konsentrasi mental (dharana),
juga merupakan bentuk manipulasi daya prana. Dalam budaya lain, ide tentang
bioenergi prana dikenal sebagai chi di Tiongkok dan mana di dalam
tradisi Polinesia. Para peneliti modern menyebutnya sebagai energi bioplasma.
Para praktisi yoga mengetahui bahwa ada hubungan antara prana, napas, emosi dan
pikiran.
Dalam Yoga Sutras (2.49) dikatakan
bahwa: “Setelah menguasai asanas, kita
harus melatih keluar masuknya napas”.
5.
Pengendalian Indera (Pratyahara)
Latihan asana dan pranayama
menghasilkan sebuah dsensitifikasi yang akan menghentikan ransangan dari luar
diri sang yogi. Kemudian secara berangsur sang yogi dapat hidup dalam
lingkungan batin pikirannya sendiri. Jika kesadaran sudah bisa secara berangsur
sang yogi dapat hidup dalam lingkungan batin pikirannya sendiri. Jika kesadaran
sudah bisa secara efektif membebaskan diri dari pengaruh lingkungan luar, maka
kondisi tersebut pratyahara. Dalam Mahabharata (12.194.58) dikatakan
tentang pratyahara:
“Sang Diri (self) tidak dapat
ditangkap dengan indera yang kacau, terpecah-belah dan terpencar dan sulit untuk
dikenalikan bagi orang yang belum siap” (Mahabharata 12.194.58)
Dan dalam Yoga Sutras (2.54),
pengendalian indera-indera (pratyahara) dijelaskan sebagai:
“JIka indera-indera menarik diri
dari objek (benda-benda) dan meniru seolah-olah memiliki kodrat materi pikiran,
maka inilah yang disebut pratyahara”.
6.
Konsentrasi (Dharana)
‘Konsentrasi’ merupakan proses
lanjutan dari pratyahara. Konsentrasi adalah komponen keenam dari ashtanga-yoga
Patanjali. Konsentrasi dapat didefinisikan sebagai ‘memfokuskan perhatian pada
satu tempat tertentu’ (desha). Tempat (locus) tersebut dapat
merupakan bagian tertentu dari tubuh, serpeti cakra atau objek eksternal yang
diinternalisasikan seperti imaji seorang dewa-dewi. Istilah yang dipakai oleh Patanjali
untuk ‘konsentrasi’ adalah dharana.
Dalam Yoga Sutras (2.53), dharana
dijelaskan sebagai berikut:
“Dan pikiran sudah siap untuk konsentrasi”.
“Dharana adalah memfokuskan pikiran pada satu tempat, objek atau ide”.
(Y.S. 3.1)
7.
Meditasi (Dhyana)
Konsentrasi yang diperpanjang serta
mendalam, secara alami akan membimbing seseorang ke kondisi yang disebut
‘meditasi’ (dhyana). Dalam meditasi, objek atau locus yang
diinternalisasikan mengisi seluruh ruang kesadaran. Jika dalam ‘konsentrasi’
mekanisme utama adalah ‘keterfokusan perhatian’, maka dalam ‘meditasi’
mekanisme yang mendasari proses ini adalah ‘kemengaliran yang tunggal’
(ekatanata).
Kondisi meditasi tidak menghilangkan
kejernihan pikiran, malah sebaliknya ia memperkuat ke-sadar-an, walaupun memang
tidak ada atau terdapat sedikit sekali kesadaran akan lingkungan eksternal.
Tujuan awal meditasi dalam yoga adalah untuk menahan, menekan, serta
menghentikan modifikasi pikiran (cittas-vritti-nirodhah). Aktivitas mental
tersebut meliputi lima kategori:
1.
Pramana
: pengetahuan yang diperoleh melalui persepsi, penyimpulan atau bukti yang bisa
dipertanggungjawabkan, seperti teks kitab suci.
2.
Viparyaya
: Kesalahpahaman, pengertian yang keliru.
3.
Vikalpa
: pengetahuan konseptual, imajinasi.
4.
Nidra
: tidur
5.
Smriti
: Ingatan.
Dalam
kondisi identifikasi dengan Diri (self), unsur pengaktif yang menyebabkan
eksternalisasi kesadaran dicabut. Ingatan memiliki dua aspek, yakni aspek kasar
dan aspek halus. Aspek kasar dari ingatan dapat dilumpuhkan melalui meditasi,
sedangkan aspek halusnya dapat dinetralkan melalui samadhi suprasadar. Ada 3
tahap proses ‘penghentian’ (nirodha), yakni:
a.
Vritti-nidrodha
: penghentian kelima kategori aktivitas mental kasar dalam meditasi.
b.
Pratyaya-nirodha : penghentian ide
(pratyaya) yang muncul dalam berbagai jenis samadhi sadar
(samprajnata-samadhi). Para yogi harus dapat mengatasi pikiran yang mucnul
secara spontan dalam kondisi savitarka-samapatti. Para yogi juga harus mampu melampaui
rasa bahagia (ananda) dalam kondisi ananda-samapatti
c.
Samskara-nirodha : penghentian unsur pengaktif
batin dalam kondisi samadhi suprasadar (asamprajnata-samadhi). Dalam
kondisi asmprajnata-samadhi, sang yogi melumpuhkan ingatan batin dengan potensi
laten (vasana), yang selalu menghasilkan aktivita spsikomental baru.
Masalah penghancuran samskara
dijelaskan dalam Yoga Sutras (1.50)
“Kesan (impresi) yang dihasilkan melalui samadhi akan menghapuskan semua
kesan-kesan lainnya.”
8.
Ekstasis (Samadhi)
Pada bagian konsentrasi dan
meditasi, sudah dijelaskan bahwa konsentrasi (dharana) mengarah pada meditasi
(dhyana). Kemudian kita akan mleihat bahwa meditasi (dhyana) mengarah pada
penyatuan (samadhi). Kondisi samadhi dapat tercapai jika semua modifikasi (vritti)
dalam kesadaran bangun sudah dihentikan melalui latihan meditasi. Karena
itu, konsentrasi, meditasi dan penyatuan merupakan tiga fase dari satu proses
yang berkesinambungan (samyama). Yoga Sutras memberikan (3.3) memberikan
definisi samadhi sebagai:
“samadhi adalah kondisi meditasi
yang sama, dimana hanya ada objek saja, seolah tidak ada bentuknya”.
Samadhi adalah suatu kondisi puncak
yang dicapai melalui sebuah proses disiplin mental yang panjang dan sulit.
Etika Yoga
Secara umum,
konsep etika dalam Yoga termasuk dalam latihan yama dan niyama, yaitu disiplin
moral dan disiplin diri. Aturan-aturan yang ada dalam yama dan niyama, juga
berfungsi sebagai kontrol sosial dalam mengatur moral manusia. Akan tetapi,
dalam bukunya Tattwa Darsana, I Gede Rudia menjelaskan bahwa etika dalam yoga
adalah sebagai berikut.
Dalam samadhi,
seorang Yogi memasuki ketenangan tertinggi yang tidak tersentuh oleh
suara-suara yang tak henti-hentinya, yang berasal dari luar dan pikiran
kehilangan fungsinya, di mana indera-indera terserap ke dalam pikiran. Apabila
semua perubahan pikiran terkendalikan, si pengamat atau Purusa, terhenti dalam
dirinya sendiri dan di dalam Yoga-Sutra Patanjali disebut sebagai Svarupa
Avasthanam (kedudukan dalam diri seseorang yang sesungguhnya).
Dalam
filsafat Yoga, maka yoga berarti penghentian kegoncangan-kegoncangan pikiran.
Ada lima keadaan pikiran itu. Keadaaan pikiran itu ditentukan oleh intensitas sattwa,
rajas dan tamas. Kelima keadaaan pikiran itu adalah:
1.
Ksipta artinya tidak diam-diam
Dalam keadaan pikiran itu
diombang-ambingkan oleh rajas dan tamas, dan ditarik-tarik oleh objek indriya
dan sarana-sarana untuk mencapaInya, pikiran melompat-lompat dari satu objek ke
objek yang lain tanpa terhenti pada satu objek.
2.
Mudha artinya lamban dan malas
Ini idsebabkan oleh pengaruh tamas
yang menguasai alam pikiran. Akibatnya orang yang alam pikirannya
demikian cenderung bodoh, senang tidur dan sebagainya.
3.
Wiksipta artinya bingung, kacau.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh
rajas. Karena pengaruh ini , pikiran mempu mewujudkan semua objek dan
mengarahkannya pada kebajikan, pengetahuan, dan sebagainya. Ini merupakan
tahap pemusatan pikiran pada suatu objek, namun sifatnya sementara, sebab
akan disusul lagi oleh kekuatan pikiran.
4.
Ekarga artinya terpusat.
Di sini, Citta terhapus dari
cemarnya rajas sehingga sattva lah yang menguasai pikiran. Ini
merupakan awal pemusatan pikiran pada suatu objek yang memungkinkan ia
mengetahui alamnya yang sejati sebagai persiapan untuk menghentikan
perubahan-perubahan pikiran.
5.
Niruddha artinya terkendali
Dalam tahap ini, berhentilah semua
kegiatan pikiran, hanya ketenanganlah yang ada.
Ekagra dan
Niruddha merupakan persiapan dan bantuan untuk mencapai tujuan akhir, yaitu
kelepasan. Ekagra bila dapat berlangsung terus menerus, maka disebut samprajna-yoga
atau meditasi yang dalam, yang padanya ada perenungan kesadaran akan suatu
objek yang terang.
Tingkatan Niruddha juga disebut asaniprajnata-yoga,
karena semua perubahan dan kegoncangan pikiran terhenti, tiada satu pun
diketahui oleh pikiran lagi. Dalam keadaan demikian, tidak ada riak-riak
gelombang kecil sekali pun dalam permukaan alam pikiran atau citta itu. Inilah
yang dinamakan orang samadhi yoga.
Ada empat macam samparjnana-yoga
menurut jenis objek renungannya. Keempat jenis itu adalah:
1.
Sawitarka ialah apabila pikiran dipusatkan pada suatu objek
benda kasar seperti arca dewa atau dewi.
2.
Sawicara ialah bila pikiran dipusatkan pada objek yang halus
yang tidak nyata seperti tanmantra.
3.
Sananda, ialah bila pikiran dipusatkan pada suatu objek yang
halus seperti rasa indriya.
4.
Sasmita, ialah bila pikiran dipusatkan pada asmita, yaitu
anasir rasa aku yang biasanya roh menyamakan dirinya dengan ini.
Tuhan dalam Ajaran
Yoga
Patanjali menerima eksistensi Tuhan (Isvara) dimana
Tuhan menurutnya adalah The Perfect Supreme Being, bersifat abadi, meliputi
segalanya, Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha ada. Tuhan adalah purusa yang khusus
yang tidak dipengaruhi oleh kebodohan, egoisme, nafsu, kebencian dan takut akan
kematian. Ia bebas dari Karma, Karmaphala dan impresi-impresi yang bersifat
laten.
Patanjali beranggapan bahwa individu-individu memiliki
esensi yang sama dengan Tuhan, akan tetapi oleh karena ia dibatasi oleh sesuatu
yang dihasilkan oleh keterikatan dan karma, maka ia berpisah dengan
kesadarannya tentang Tuhan dan menjadi korban dari dunia material ini.
Tujuan dan aspirasi manusia bukanlah bersatu dengan
Tuhan, tetapi pemisahan yang tegas antara Purusan dan Prakrti (SR, hal371).
Hanya satu Tuhan. Menurut Vijnanabhisu:
“dari semua jenis kesadaran meditasi, bermeditasi
kepada kepribadian Tuhan adalah meditasi yang tertinggi. (SR, 372) Ada bebagai
obyek yang dijadikan sebagai pemusatan meditasi yaitu bermeditasi pada sesuatu yang
ada di luar diri kita, bermeditasi kepada suatu tempat yang ada pada tubuh kita
sendiri dan yang tertinggi adalah bermeditasi yang di pusatkan kepada Tuhan.
Kebodohan menyatakan bahwa ada dualisme dari satu
realitas yang disebut Tuhan. Ketika kebodohan dihilangkan oleh pengetahuan maka
dualisme hilang dan kesatuan penuh akan dicapai. Ketika seseorang mengatasi
kebodohan maka dualisme hilang maka ia menyatu dengan The Perfect Single Being
tetapi kesempurnaan The Single Being itu selalu ada dan tetap tersisa sebagai
sesuatu yang sempurna dan satu. Tak ada perubahan dalam lautan, seberapa
banyakpun sungai-sungai yang mengalirkan airnya dan bermuara padanya. Ketidak
berubahan adalah keadaan dasar dari kesempurnaan.
Kesimpulan
Filasafat
yoga merupakan salah satu aliran filsafat dalam agama Hindu yang membahas
tentang latihan, baik fisik maupun mental, yang keras dan serius, agar dapat
memperoleh apa yang disebut dengan Transendensi Diri. Dalam
yoga, dipercaya ada 8 tingkatan untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu: Disiplin
moral (yama), disiplin diri (niyama), Postur Tubuh (asana), Pengendalian
Napas (pranayama), Pengendalian Indera (Pratyahara),
Konsentrasi (Dharana), Meditasi (Dhyana), Ekstasis (Samadhi)
Sistem etika
yang terdapat dalam agama Hindu, diatur dalam 2 tingkatan pertama, yaitu
Disiplin moral dan Disiplin diri. Yang dibagi menjadi sepuluh aturan: lima
aturan pertama merupakan aturan yama, dan lima yang lain merupakan aturan
niyama. Disiplin Moral atau Pengekangan Diri (Yama) terdiri atas: Tanpa
kekerasan (ahimsa), Kebenaran (satya), Tidak Mencuri (Asteya),
Kesucian-Kemurnian atau mengendalikan nafsu jasmani dan nafsu asmara (brahmacarya),
Ketidaktamakan (Aparigraha). Sementara Disiplin Diri (Niyama) terdiri dari:
Kesucian atau kemurnian (shauca), Berpuas Diri (Samtosha), Askese (Tapas),
Studi Teks Spiritual (Svadhyaya), Penyerahan diri pada Tuhan (Ishwara-pranidhana).
Konsep Tuhan
dalam agama Hindu, Patanjali menerima eksistensi Tuhan (Isvara) dimana Tuhan
menurutnya adalah The Perfect Supreme Being, bersifat abadi, meliputi
segalanya, Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha ada. Patanjali beranggapan bahwa
individu-individu memiliki esensi yang sama dengan Tuhan, akan tetapi oleh
karena ia dibatasi oleh sesuatu yang dihasilkan oleh keterikatan dan karma,
maka ia berpisah dengan kesadarannya tentang Tuhan dan menjadi korban dari
dunia material ini.
No comments:
Post a Comment