Search This Blog

Monday, 23 February 2015

Pengertian Hubungan Industrial

Hubungan Industrial adalah hubungan antara semua pihak yang tersangkut atau berkepentingan atas proses produksi atau pelayanan jasa di suatu perusahaan. Pihak yang paling berkepentingan atas keberhasilan perusahaan dan berhubungan langsung sehari-hari adalah pengusaha atau manajemen dan pekerja.
Menurut Payaman J. Simanjuntak (2009), Hubungan industial adalah Hubungan semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi barang atau jasa di suatu perusahaan. Pihak yang berkepentingan dalam setiap perusahaan (Stakeholders):
1.    Pengusaha atau pemegang saham yang sehari-hari diwakili oleh pihak manajemen
2.    Para pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
3.    Supplier atau perusahaan pemasok
4.    Konsumen atau para pengguna produk/jasa
5.    Perusahaan Pengguna
6.    Masyarakat sekitar
7.    Pemerintah
Disamping para stakeholders tersebut, para pelaku hubungan industrial juga melibatkan:
1.    Para konsultan hubungan industrial dan/atau pengacara
2.    Para Arbitrator, konsiliator, mediator, dan akademisi
3.    Hakim-Hakim Pengadilan hubungan industrial

Abdul Khakim (2009) menjelaskan, istilah hubungan industrial merupakan terjemahan dari "labour relation" atau hubungan perburuhan. Istilah ini pada awalnya menganggap bahwa hubungan perburuhan hanya membahas masalah-masalah hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha. Seiring dengan perkembangan dan kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa masalah hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha ternyata juga menyangkut aspek-aspek lain yang luas. Dengan demikian, Abdul Khakim (2009) menyatakan hubungan perburuhan tidaklah terbatas hanya pada hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha, tetapi perlu adanya campur tangan pemerintah.


HUKUM ACARA PADA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
BY: Setia Darma


Dalam system peradilan Indonesia, pengadilan hubungan industrial termasuk pengadilan khusus dalam lapangan peradilan umum, hal tersebut sesuai dengan Pasal 55 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan hubungan industrial masih memberlakukan hukum acara perdata yang termasuk pada ruang lingkup peradilan umum, kecuali diatur dengan ketentuan yang berbeda dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004.
Para pihak yang beracara dipengadilan hubungan industrial tidak dikenakan biaya perkara termasuk biaya pelaksanaan putusan yang nilai gugatannya kurang dari 150.000.000 Rupiah. Artinya, untuk nilai gugatan dibawah jumlah nominal tersebut para pihak beracara dengan Cuma-Cuma. Hal tersebut sangat berbeda dengan acara peradilan perdata atau agama yang walaupun juga berawal dari gugatan, namun tetap membayar biaya perkara tanpa memperhatikan berapa nilai gugatannya, kecuali jika penggugat mengajukan prodeo kepada hakim. Prodeo_pun membutuhkan proses yang tidak sederhana, karena hakim akan mengadakan pra peradilan untuk memutuskan apakah penggugat layak untuk mendapat prodeo atau tidak.

PENGAJUAN GUGATAN
Pengajuan gugatan pada pengadilan hubungan industrial bukanlah langkah awal dan/atau satu-satunya untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, melainkan langkah terakhir dari semua alternative yang ada. Sebelum salah satu dan/atau para pihak mengajukan gugatan, harus terlebih dahulu menyelesaikannya dengan jalan musyawarah melalui bipartite. Jika, langkah tersebut dinyatakan gagal, para pihak dipersilahkan untuk memakai alternative penyelesaian lainnya seperti; mediasi, konsiliasi atau arbitrase. Jika langkah tersebutpun gagal, maka salah satu pihak atau para pihak diperbolehkan untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri dimana buruh atau pekerja bekerja (Pasal 81 UU No. 2 Tahun 2004).
Dalam pengajuan gugatan, penggugat harus melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi yang menunjukkan bahwa para pihak sebelumnya sudah melalui alternative penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Risalah tersebut sekurang-kurangnya memuat tentang identitas para pihak, tanggal dan tempat perundingan, permasalahan, pendapat para pihak, kesimpulan atau hasil perundingan dan tanggal disertai tandatangan para pihak yang melalukan perundingan (Pasal 6 ayat 2 UU No. 2 Tahun 2004).
Gugatan yang tidak melampirkan risalah seperti dimaksud diatas, akan dikembalikan oleh hakim pengadilan hubungan industrial pada penggugat (Pasal 83 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2004). Untuk gugatan yang isinya dianggap kurang oleh hakim, akan dikembalikan pada penggugat dan dimintakan kelengkapannya (Pasal 83 yat 3 UU No. 2 Tahun 2004).
Gugatan dapat dilakukan secara kolektif, jika penggugatnya lebih dari satu dengan kuasa khusus (Pasal 84 UU No. 2 Tahun 2004), artinya bahwa gugatan dalam hal perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan secara class action. Dalam class action dikenal istilah class member dan class representative. yang dimaksud dengan class member adalah para pihak yang diwakili secara khusus untuk mengajukan gugatan dan class representative adalah pihak yang mewakili atau pihak yang mendapat kuasa khusus dari class member untuk melakukan gugatan.
Syarat untuk melakukan gugatan kolektif atau class action adalah adanya kesamaan permasalahan yang menimbulkan kerugian bagi para penggugat dengan tergugat yang sama. Jadi, untuk melakukan gugatan kolektif yang diperhatikan adalah kesamaan permasalahan dengan tergugat yang sama bukan kesamaan kerugian.
kerugian yang diderita oleh para penggugat masing-masing tidaklah harus sama, mengenai perbedaan tuntutan yang diinginkan oleh para penggugat diluar dari isi gugatan kolektif, ganti kerugian yang berbeda bagi para penggugat dapat dilakukan dengan perjanjian antar para penggugat (antar class member) dan antara class member dengan class representative untuk melakukan pembagian ganti kerugian secara porposional bagi para penggugat sesuai kerugian yang diderita setelah gugatan mendapat putusan diterima dan tuntutannya dikabulkan oleh hakim.
Gugatan sewaktu-waktu dapat dicabut oleh penggugat, dengan syarat tergugat belum memberikan jawaban (eksepsi) terhadap gugatan penggugat. Jika, gugatan tersebut sudah mendapat jawaban dari tergugat, penggugat hanya dapat mencabut gugatan tersebut atas persetujuan tergugat (Pasal 85 ayat 1 dan 2 UU No. 2 Tahun 2004).

PROSES PERADILAN
Sidang pertama dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial harus dilakukan oleh majelis hakim paling lambat 7 (tujuh) hari setelah penetapan majelis hakim oleh ketua pengadilan negeri. Sidang harus dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri dari seorang hakim sebagai ketua majelis dan 2 (dua) orang hakim Ad Hoc sebagai anggota majelis (hakim anggota), majelis hakim tersebut ditentukan oleh ketua pengadilan negeri, sidang yang bukan dilakukan oleh majelis hakim sebagaiman tersebut dinyatakan tidak sah.
Hakim harus melakukan pemanggilan terhadap para pihak secara sah. Pemanggilan dinyatakan telah dilakukan secara sah, jika pemanggilan dilakukan dengan surat panggilan yang ditujukan pada alamat tempat tinggal para pihak atau pada alamat tempat kediaman terakhirnya, apabila alamat tempat tinggalnya tidak diketahui.
Untuk pihak yang tidak ada ditempat tinggalnya atau pada kediaman terakhirnya, pemanggilan dapat dilakukan melalui kepala kelurahan atau kepala desa tempat kediaman terakhir atau tempat tinggal pihak tersebut. Untuk surat panggilan yang telah diterima baik oleh pihak itu sendiri ataupun orang lain, dibuktikan dengan tanda terima. Dalam hal tempat tinggal atau kediaman terakhir pihak yang dipanggil tidak diketahui, maka surat panggilan ditempel pada papan pengumuman pengadilan hubungan industrial dimana perkara tersebut diperiksa.
Dalam hal para pihak dan/ atau salah satu pihak yang sudah dipanggil secara sah, namun tidak hadir pada sidang hari pertama tanpa suatu alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, maka ketua majelis hakim menunda persidangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak hari sidang pertama. Penundaan oleh ketua majelis hakim hanya dapat dilakukan sebanyak 2 (dua) kali. Apabila dalam 2 (dua) kali penundaan penggugat atau kuasa hukumnya tetap tidak hadir, maka gugatan dianggap gugur dan penggugat diberi satu kesempatan lagi untuk melakukan gugatan. Namun, apabila yang tidak hadir dalam 2 (dua) kali penundaan adalah pihak tergugat atau kuasa hukumnya, maka hakim dapat memeriksa dan memutus perkara tanpa kehadiran pihak tergugat atau kuasa hukumnya.
Untuk pembuktian perkara, majelis hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli kepersidangan untuk didengar keterangannya dalam perkara tersebut. Sebelum dimintai keterangan dalam persidang, saksi atau saksi ahli wajib disumpah. Setiap orang wajib memberikan keterangan yang diminta oleh majelis hakim termasuk membuka buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukandalam pemeriksaan perkara
Apabila keterangan yang minta oleh majelis hakim merupakan hal yang harus dirahasiakan karena jabatan atau kedudukannya, maka sesuai dengan Pasal 1908 BW sebagai salah satu sumber hukum acara peradilan hubungan industrial bahwa saksi tersebut dapat minta dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi.
Sidang dinyatakan terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh hakim karena alasan tertentu, namun pada saat pembacaan putusan oleh hakim harus dinyatakan terbuka untuk umum tanpa terkecuali. Pada saat pembacaan putusan, jika oleh hakim tidak dinyatakan terbuka untuk umum, maka putusan dianggap tidak sah dan batal demi hukum.

KESIMPULAN
Pengadilan hubungan industrial merupakan pilihan terakhir dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, sebelum menempuh jalan melalui pengadilan, terlebih dahulu para pihak harus melakukan musyawarah melalui bipartite untuk mencapai mufakat sebagai ideology bangsa yang berasal dari falsafah pancasila yaitu musyawarah untuk mencapai mufakat.
Apapun alasannya, musyawarah adalah solusi “win-win”. Artinya, dengan musyawarah para pihak yang berselisih masing-masing merasa puas, tanpa harus ada pihak yang merasa menang dan kalah. Namun, musyawarah tidaklah harus mencapai mufakat, ada kemungkinan untuk tidak sepakat. Oleh karena itu, undang-undang penyelesaian perselisihan hubungan industrial menentukan alternative lain yang bisa ditempuh, jika ternyata musyawarah tidak mencapai mufakat. Alternatif lain tersebut adalah mediasi atau konsiliasi, dan arbitrase.
Apabila alternative lain tersebut telah ditempuh namun dinyatakan gagal, maka salah satu pihak dan/ atau para pihak dapat mengajukan gugatan kepengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri.

Pengertian Hubungan Industrial ==
Menurut Payaman J. Simanjuntak (2009), Hubungan industial adalah Hubungan semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi barang atau jasa di suatu perusahaan. Pihak yang berkepentingan dalam setiap perusahaan (Stakeholders):
# Pengusaha atau pemegang saham yang sehari-hari diwakili oleh pihak manajemen
# Para pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
# Supplier atau perusahaan pemasok
# Konsumen atau para pengguna produk/jasa
# Perusahaan Pengguna
# Masyarakat sekitar
# Pemerintah

Disamping para stakeholders tersebut, para pelaku hubungan industrial juga melibatkan:
# Para konsultan hubungan industrial dan/atau pengacara
# Para Arbitrator, konsiliator, mediator, dan akademisi
# Hakim-Hakim Pengadilan hubungan industrial

Abdul Khakim (2009) menjelaskan, istilah hubungan industrial merupakan terjemahan dari "labour relation" atau hubungan perburuhan. Istilah ini pada awalnya menganggap bahwa hubungan perburuhan hanya membahas masalah-masalah hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha. Seiring dengan perkembangan dan kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa masalah hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha ternyata juga menyangkut aspek-aspek lain yang luas. Dengan demikian, Abdul Khakim (2009) menyatakan hubungan perburuhan tidaklah terbatas hanya pada hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha, tetapi perlu adanya campur tangan pemerintah.

=== Prinsip-Prinsip Hubungan Industrial ===
Payaman J. Simanjuntak (2009) menjelaskan beberapa prinsip dari Hubungan industrial, yaitu :
# Kepentingan Bersama: Pengusaha, pekerja/buruh, masyarakat, dan pemerintah
# Kemitraan yang saling menguntungan: Pekerja/buruh dan pengusaha sebagai mitra yang saling tergantung dan membutuhkan
# Hubungan fungsional dan pembagian tugas
# Kekeluargaan
# Penciptaan ketenangan berusaha dan ketentraman bekerja
# Peningkatan produktivitas
# Peningkatan kesejahteraan bersama

=== Sarana Pendukung Hubungan Industrial ===
Payaman J. Simanjuntak (2009) menyebutkan sarana-sarana pendukung Hubungan industrial, sebagai berikut :
# Serikat Pekerja/Buruh
# Organisasi Pengusaha
# Lembaga Kerjasama bipartit (LKS Bipartit)
# Lembaga Kerjasama tripartit (LKS Tripartit
# Peraturan Perusahaan
# Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
# Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaaan
# Lembaga penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial
Prinsip-Prinsip Hubungan Industrial ===
Payaman J. Simanjuntak (2009) menjelaskan beberapa prinsip dari Hubungan industrial, yaitu :
# Kepentingan Bersama: Pengusaha, pekerja/buruh, masyarakat, dan pemerintah
# Kemitraan yang saling menguntungan: Pekerja/buruh dan pengusaha sebagai mitra yang saling tergantung dan membutuhkan
# Hubungan fungsional dan pembagian tugas
# Kekeluargaan
# Penciptaan ketenangan berusaha dan ketentraman bekerja
# Peningkatan produktivitas
# Peningkatan kesejahteraan bersama
Sarana Pendukung Hubungan Industrial ===
Payaman J. Simanjuntak (2009) menyebutkan sarana-sarana pendukung Hubungan industrial, sebagai berikut :
# Serikat Pekerja/Buruh
# Organisasi Pengusaha
# Lembaga Kerjasama bipartit (LKS Bipartit)
# Lembaga Kerjasama tripartit (LKS Tripartit
# Peraturan Perusahaan
# Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
# Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaaan
# Lembaga penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial

 

 

 


I. LATAR BELAKANG
Dalam era industrialisasi, perselisihan hubungan industrial menjadi semakin kompleks, untuk penyelesaiannya diperlukan institusi yang mendukung mekanisme penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat, adil dan murah.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tenteng Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Hubungan Kerjan di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan tersebut diatas.
Hal ini disebabkan beberapa hal:
Pertama : sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,maka Putusan P4P yang semula bersifat final,oleh pihak yang tidak menerima putusan tersebut dapat diajukan gugutan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,yang selanjutnya dapat dimohonkan Kasasi pada Mahkamah Agung. Proses ini membutuhkan waktu relatif lama yang tidak sesuai untuk diterapkan dalam kasus ketenagakerjaan (hubungan industrial) yang memerlukan penyelesaian yang cepat,karena berkaitan dengan proses produksi dan hubungan kerja.
P4D/P4P selama ini dikenal sebagai quasi-peradilan atau peradilan semu. “Peradilan”karena institusi ini mempunyai kewenangan “memutus” perkara-perkara dalam hubungan industrial,namun “semu” karena institusi ini bukan lembaga peradilan yang dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentangPokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam kelembagaan P4D/P4P ini duduk wakil-wakil dari Pemerintah,berdasarkan hal itu maka putusannya kemudian dikatagorikan menjadi putusan pejabat tata usaha negara,yang dapat menjadi objek pengadilan TUN.
Kedua : adanya kewenangan Menteri untuk menunda atau membatalkan putusan P4P atau biasa disebut hak Veto. Hak Veto ini dianggap merukan campur tangan Pemerintah,dan tidak sesuai lagi dengan paradigma yang berkembang dalam masyarakat,dimana peran pemerintah seharusnya sudah harus dikurangi.
Ketiga : dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang dapat menjadi pihak dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanyalah serikat pekerja/serikat buruh. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat buruh yang dijiwai oleh Konvensi ILO No.87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi,yang telah diratifikasioleh Indonesia,maka terbuka kesempatan untuk setiap pekerja/buruh membentuk/mengikuti organisasi yang disukainya. Namun di pihak lain hak pekerja/buruh untuk tidak berorganisasi juga harus dihargai.
Oleh karena itu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang mensyaratkan pihak yang berperkara harus serikat pekerja/serikat buruh,menjadi tidak sesuai dengan paradigma baru di bidang hubungan industrial yaitu demokratisasi di tempat kerja.
Apabila Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tetap dipertahankan maka pekerja/buruh perseorangan hanya dapat ber”perkara”di hadapan pengadilan umum dengan beracara secara perdata.
II. PRINSIP-PRINSIP YANG DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG NO.2 TAHUN 2004
1. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial.
Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan.
2. Bentuk-bentuk Perselisihan Hubungan Industrial.
Berdasarkan pengertian perselisihan tersebut diatas,maka dikenal 4 bentuk perselisihan yaitu:
a. Perselisihan hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak,dipenuhinya hak,akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,perjanjian kerja,peraturan perusahaan atau perjanjian kerja,peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
b. Perselisihan kepentingan,yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja,yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuain pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh,yaitu perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu perusahaan,karena tidak adanya persesuain paham mengenai keanggotaan,pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat-pekerjaan.
3. Penyelesaian Perselisihan di Luar Pengadilan Hubungan Industrial
Dalam UU ini penyelesaian perselisihan dapat dilakukan di luar pengadilan ( Pengadilan Hubungan Industrial). Mekanisme ini tentunya lebih cepat dan dapat memenuhi rasa keadilan para pihak karena penyelesaiannya berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
Terdapat 4(empat) bentuk penyelesaian yaitu melalui :
a. Bipartit;
b. Mediasi;
c. Konsiliasi;
d. Arbitrase.
a. Penyelesaian melalui Bipartit
Penyelesaian secara bipartit wajib diupayakan terlebih dahulu sebelum para pihak memilh alternatif penyelesaian yang lain.Hal ini berarti bahwa sebelum pihak atau pihak-pihak yang berselisih mengundang pihak ketiga untuk menyelesaikan persoalan diantara mereka,maka harus terlebih dahulu melalui tahapan perundingan para pihak yang biasa disebut sebagai bipartit.Penyelesaian melalui bipartit nin harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan . Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)hari,salah satu pihak menolak untuk merunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Apabila dalam perundingan bipartit berhasil mencapai kesepakatan maka dibuat Perjanjian Bersama(PB) yang mengikat dan menjuadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.Dalam hal Perjanjian Bersama(PB)tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak,maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama(PB) didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
Dalam hal perundingan bipartit tidak mencapai kesepakatan,maka salah satu atau kedua belah pihak memberitahukan perselisihannya kepada instansinyang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
b. Penyelesaian melalui Mediasi Wajib
Mediator,adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak,perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan.
Penyelesaian melalui mediasi wajib diperuntukan bagi.
 perselisihan hak;
§
 perselisihan kepentingan;
§
 perselisihan pemutusan hubungan kerja;dan
§
 perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
§
Dalam waktu selambat-lambatnya 7(tujuh) hari kerja setelah menerima permintaan tertulis,mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.
Dalam hal tercapai kesepakatanpenyelesaian melalui mediasi,maka dibuat Perjanjian Bersama (PB) yang ditandatangani para pihak dan diketahui oleh mediator dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama.
Dalam hal mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama kepada para pihak. Para pihak harus memberikan pendapatnya secara tertulis kepada mediator selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak menerima anjuran.
Pihak yang tidak memberikan pendapatnya dianggap menolak anjuran tertulis.
Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis dari mediator, dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama (PB) untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama (PB).
Apabila anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau oleh kedua belah pihak, maka penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat dengan mengajukan gugatan oleh salah satu pihak.
Mediator harus menyelesaikan tugasnya paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal permintaan penyelesaian perselisihan.
c. Penyelesaian melalui Konsiliasi.
Konsiliator, adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator dan ditunjuk oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Penyelesaian melalui konsiliasi diperuntukan bagi :
- perselisihan kepentingan;
- perselisihan pemutusan hubungan kerja;
- perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Penyelesaian oleh konsilator dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati para pihak. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja, konsiliator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama.
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama (PB) yang ditandatangani para pihak dan diketahui oleh konsiliator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama (PB).
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama kepada para pihak.
Para pihak harus sudah memberikan pendapatnya secara tertulis kepada konsiliator dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis.
Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis, dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama (PB) dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama (PB).
Dalam hal anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.
Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.
Konsiliator harus terdaftar pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan serta harus ada legitimasi oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Dalam melaksanakan tugasnya konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa yang dibebankan kepada negara.
d. Penyelesaian melalui Arbiter
Arbiter, adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Ruang Lingkup
Perselisihan yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Perjanjian Arbitrase.
Penyelesaian melalui arbiter harus berdasarkan kesepakatan para pihak yang berselisih yang dituangkan dalam Perjanjian Arbitrase. Perjanjian tersebut memuat antara lain pokok-pokok perselisihan yang diserahkan pada arbiter, jumlah arbiter dan pernyataan para pihak untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbiter.
Pihak-pihak dapat menunjuk arbiter tunggal atau beberapa arbiter dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang. Arbiter yang ditunjuk haruslah arbiter yang telah ditetapkan oleh Menteri dan wilayah kerjanya meliputi seluruh negara Republik Indonesia.
Penunjukan Arbiter.
Penunjukan Arbiter tunggal berdasarkan kesepakatan para pihak secara tertulis. Apabila para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter secara tertulis dalam jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase.
Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbiter baik tunggal maupun gasal, maka atas permohonan salah satu pihak, Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan Menteri.
Perjanjian Penunjukan Arbiter.
Sebelum melaksanakan tugasnya, arbiter yang telah ditunjuk harus terlebih dahulu membuat Perjanjian Penunjukan Arbiter dengan para pihak. Dalam perjanjian tersebut secara tegas dinyatakan pokok-pokok yang menjadi perselisihan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan dan pernyataan para pihak untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase.
Pemeriksaan Perkara dalam Arbitase.
Pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain. Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus. Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut, maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan Perjanjian Penunjukan Arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai.
Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya.
Tuntutan Ingkar Arbiter
Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian arbitrase dapat diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri apabila :
 cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan;
§
 terbukti adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya.
§
Putusan Pengadilan Negeri tentang tuntutan ingkar tidak dapat diajukan perlawanan.
Lamanya Penyelesaian Arbitrase.
Arbiter atau majelis arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat Perjanjian Penunjukan Arbiter dan dapat diperpanjang selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja atas kesepakatan para pihak.
Dalam hal para pihak gagal mencapai perdamaian, arbiter atau majelis arbiter akan melanjutkan sidang. Para pihak diberi kesempatan untuk menjelaskan pendirian dan pendapatnya baik secara tertulis maupun lisan disertai bukti-bukti. Untuk mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan perkara, arbiter atau majelis arbiter berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tuntutan secara tertulis, atau menyerahkan bukti lainnya.
Putusan Arbiter.
Putusan arbiter diambil berdasarkan hukum,keadilan,kebebasan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan putusan arbiter tersebut bersifat final dan mengikat para pihak.
Dalam hal putusan arbitrase tidak dilaksanakan,maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan.
Permohonan Pembatalan pada Mahkamah Agung atas Putusan Arbitre.
Meskipun putusan arbiter bersifat tetap dan final,tetapi apabila putusan arbiter diduga mengandung unsur-unsur yang merugikan salah satu pihak,atas putusan tersebut dapat diajukan permohonan pembatalan pada Mahkamah Agung.Tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pembatalan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal putusan arbitrase.
Permohonan pembatalan dapat diajukan apabila dipenuhinya salah satu unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan diakui atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan;
c. putusan diambil berdasarkan tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
d. putusan melampui kekuasaan arbiter;
e. putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal permohonan dikabulkan,Mahkamah Agung akan menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya maupun seluruhnya maupun sebagian putusan arbitrase. Mahkamah Agung harus sudah memutuskan permohonan pembatalan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima permohonan.
III. PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Pengertian
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan Pengadilan negeri yang berwenang memeriksa,mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
Untuk pertama kali dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri di setiap ibukota Propinsi yang daerah hukumnya meliputi Propinsi yang bersangkutan.
Yurisdiksi Pengadilan Hubungan Industrial.
Perkara yang dapat di tanganioleh Pengadilan Hubungan Industrial adalah:
a. Pada tingkat pertama Pengadilan Hubungan Industrial:
 perselisihan hak;
§
 perselisihan pemutusan hubungan kerja.
§
b. Pada tingkat pertama dan terakhir Pengadilan Hubungan Industrial:
 perselisihan kepentingan :
§
 perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
§
Susunan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial
Susunan Pangadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari:
a. Hakim;
b. Hakim Ad-Hoc:
c. Panitera Muda;dan
d. Panitera Pengganti
Susunan Pangadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung terdiri dari:
a. Hakim Agung;
b. Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan
c. Panitera.
Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad-Hoc
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5(lima)orang masing-masing dari unsur organisasi pengusaha dan pekerja/buruh.
Hakim Ad-Hoc berasal dari organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh.Sebelum diusulkan oleh Mahkamah Agung kepada Presiden harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan . Meskipun berasal dari organisasi pengusaha dan pekerja/buruh,sudah seharusnya seorang hakim bersikap tidak memihak dalam memeriksa dan memutus perkara.
Syarat-syarat Hakim Ad-Hoc.
a. Warga Negara Indonesia;
b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945;
d. Berumur paling rendah 30 tahun;
e. Berbadan sehat sesuai keterangan dokter;
f. Berwibawa, jujur , adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. Berpendidikan serendah-rendahnya S1 (strata satu) kecuali bagi hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan Sarjana Hukum;
h. Berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun.
Larangan merangkap jabatan bagi Hakim Ad-Hoc.
Agar Hakim Ad-Hoc dapat bekerja secara profesional, maka Hakim Ad-Hoc dilarang merangkap jabatan.
Larangan merangkap jabatan meliputi :
a. anggota Lembaga Tinggi Negara;
b. kepala Daerah/Kepala Wilayah;
c. anggota lembaga legislatif tingkat daerah;
d. anggota TNI/POLRI;
e. pegawai Negeri Sipil;
f. pengurus partai politik;
g. pengacara;
h. mediator;
i. konsiliator;
j. arbiter; dan
k. pengurus SP/SB atau pengurus organisasi pengusaha.
Pemberhentian Hakim Ad-Hoc.
Hakim Ad-Hoc bukan hakim karir, dan oleh karena itu masa jabatan dibatasi yaitu untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Disamping dibatasi oleh masa jabatan, Hakim Ad-Hoc dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani dan rohani terus menerus selama 12 (dua belas) bulan;
d. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung;
e. tidak cakap dalam menjalankan tugas;
f. atas permintaan organisasi pengusaha atau organisasi pekerja/buruh yang mengusulkan;
g. telah selesai masa tugasnya.
Hakim Ad-Hoc dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. terus menerus selama 3 (tiga) bulan melalaikan kewajibannya tanpa alasan yang sah;
c. melanggar sumpah dan janji.
Pengawasan Hakim Ad-Hoc.
Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Mahkamah Agung mengawasi pelaksanaan tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda dan Panitera Pengganti pada Pengadilan Hubungan Industrial maupun Mahkamah Agung. Pengawasan tidak menghilangkan atau mengurangi kebebasan Hakim Ad-Hoc didalam memeriksa dan memutus perkara. Pengawasan ditujukan agar Hakim Ad-Hoc bekerja lebih profesional, jujur dan adil. Dalam melakukan pengawasan Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Mahkamah Agung dapat memberikan teguran dan petunjuk.
IV. Penyelesaian perselisihan melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Tidak ada upaya banding pada Pengadilan Tinggi.
Berbeda dengan perkara perdata dan perkara pidana, dalam perkara perselisihan hubungan industrial tidak ada upaya banding. Hal ini dimaksudkan agar perkara perselisihan hubungan industrial akan cepat memperoleh kekuatan hukum tetap atau final.
Upaya Kasasi pada Mahkamah Agung.
Tidak semua perkara perselisihan hubungan industrial yang diputus pada pengadilan tingkat pertama dapat diajukan kasasi pada Mahkamah Agung.
2 (dua) perkara yang dapat diajukan kasasi pada Mahkamah Agung yaitu :
perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sedangka 2 (dua) perkara perselisihan lainnya yaitu :
- perselisihan kepentingan; dan
- perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
apabila telah diputus pada pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri, maka putusannya bersifat final dan tetap.
Hukum Acara.
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara hkusus dalam undang-undang ini.
Sidang Majelis Hakim
Sidang majelis hakim terbuka untuk umum,kecuali Majelis Hakim dengan pertimbangan tertentu menyatakan sidang tertutup.
Majelis Hakim terdiri atas 1(satu) Hakim Karier sebagai Ketua Majelis dan 2(dua) Hakim Ad-Hoc sebagai anggota Majelis .
Dalam waktu paling lama 7(tujuh) hari sejak penetapan Majelis Hakim oleh Ketua Pengadilan Negri ,Majelis Hakim harus sudah menetapkan tanggal sidang.
Dalam hal pihak penggugat atau kuasanya setelah dipanggil secara patut tidak datang untuk sidang pertama dan kedua maka gugatannya. Apabila pihak tergugat atau kuasanya tidak hadir dalam sidang pertama dan kedua,maka gugatan dapat diterima dan Majelis dapat memutus perkara berdasarkan bukti yang ada.
Pemanggilan Saksi
Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir guna didengar keterangannya. Setiap orang yang dipanggil sebagai saksi berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannya dibawah sumpah.
Disamping berwenang untuk memanggil saksi dan saksi ahli,Majelis Hakim guna penyelesaian perselisihan berwenang pula untuk meminta keterangan dari siapapun tanpa syarat termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
Pengambilan Putusan
Dalam mengambil putusan,Majelis Hakim mempertimbangkan hukum,perjanjian yang ada,kebiasaan dan rasa keadilan. Dalam memeriksa perkara perselisihan hubungan imdustrial Majelis Hakim tidak hanya mempertimbangkan kebenaran formal tetapi harus pula mempertimbangkan kebenaran material.
Majelis Hakim berkewajiban menyelesaikan perselisihan hubungan industrial paling lama 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal sidang pertama.
Putusan Majelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka. Putusan mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam tegang waktu 14(empat belas) hari kerja.
Bagi pihak yang hadir pada sidang ketentuan mengenai tenggang waktu 14(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal sidang,sedangkan bagi pihak yang tidak hadir dihitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.
Permohonan kasasi harus sudah disampaikan pada Mahkamah Agung paling lama 14(empat belas) hari kerja sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.
Penyelesaian di tingkat Kasasi
Seperti halnya Majelis Hakim pada pengadilan tingkat pertama,Majelis Hakim pada Kasasi terdiri 1(satu) orang Hakim Agung dan 2(dua) orang Hakim Ad-Hoc.
Majelis Hakim harus sudah memutuskan perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan kepentingan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.
V. Sanksi Administrasi dan Ketentuan Pidana.
Sanksi Administratif
Sanksi administratif berupa:
a. Hukuman Disiplin
b. Teguran Tertulis;
c. Pencabutan sementara sebagai Konsiliator dan Arbiter;
d. Pencabutan tetap sebagai Konsiliator dan Arbiter.
Hukuman Disiplin
Dapat dikenakan pada Mediator dan Panitera Muda. Karena keduanya merupakan pegawai negeri sipil,maka sanksi dikenakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Teguran Tertulis
Dapat dikenakan kepada Konsiliator dan Arbiter dengan alasan:
a. Konsiliator tidak menyampaikan anjura tertulis paling lama 14 (empat belas) hari kerja atau tidak membantu para pihak membuat perjanjian kerja bersama paling lambat 3(tiga) hari kerja .
b. Arbiter tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 30 (tiga) hari kerja dan dalam jangka waktu perpanjangan yaitu paling lama 14 (empat belas) hari kerja atau tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaan.
Pencabutan Sementara
Kepada Konsiliator dan Arbiter dapat dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan sementara sebagai Konsiliator dan Arbiter dalam hal telah dikenakan sanksi teguran tertulis sebanyak 3(tiga )kali kepada yang bersangkutan . Sanksi pencabutan sementara paling lama 3(tiga) bulan.
Pencabutan Tetap
Kepada konsiliator dan Arbiter dapat dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan sebagai Konsiliator dan Arbiter dalam hal:
a. Konsiliator telah dikenakan sanksi pencabutan sementara sebanyak 3 (tiga),kali terbukti melakukan tindak pidana dan telah menyalahgunakan jabatan.
b. Arbiter paling sedikit telah 3(tiga) kali mengambil putusan arbitrase yang melampui kekuasaannya dan atas putusan tersebut Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan peninjauan kembali,telah terbukti melakukan tindak pidana dan menyalahgunakan jabatannya atau Arbiter telah dikenakan sanksi pencabutan sementara sebanyak 3(tiga) kali .
Ketentuan Pidana
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1),Pasal 22 ayat (1),dan ayat 3, Pasal 47 ayat (1) dan ayat(3),Pasal 90 ayat (2),Pasal 91 ayat (1)dan ayat(3),dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

 

 

 

 




STOP OUTSOURCING

 STOP OUTSOURCING


   Penggunaan karyawan outsourcing sesuai UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibatasi hanya untuk pekerjaan yang sifatnya sebagai pekerjaan penunjang, namun klasifikasi pekerjaan penunjang dan pekerjaan utama sebagai dasar pekerjaan outsourcing pengaturannya masih sangat terbatas dalam undang-undang tersebut.
Selain itu, pelanggaran peraturan perusahaan di tempat kerja oleh karyawan outsourcing, maka penyelesaian perselisihan menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia karyawan outsourcing. Oleh karena itu menjadi permasalahan tentang klasifikasi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang perusahaan, hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing, dan penyelesaian sengketa terhadap karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada perusahaan pemberi kerja
Hasil penelitian menunjukkan, klasifikasi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang perusahaan sebagai dasar outsourcing terlihat dari kegiatan perusahaan, di mana pekejaan utama adalah kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, sedangkan pekerjaan penunjang antara lain: pelayanan kebersihan, penyediaan makanan bagi karyawan, satuan pengamanan. Akan tetapi klasifikasi ini sulit untuk diberikan batasan karena bentuk pengelolaan usaha yang bervariasi, misalnya perusahaan di bidang komputer yang pemasangan komponennya dilakukan secara outsourcing, sementara pekerjaan itu adalah termasuk pekerjaan utama dari perusahaan.

    Hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan di tempat kerja terjadi atas dasar perjanjian kerja antara perusahaan di tempat kerja dengan perusahaan penyedia karyawan outsourcing, sehingga tidak ada perjanjian kerja karyawan outsourcing dengan perusahaan di tempat kerja. Akibatnya hak-hak normatif karyawan outsourcing di tempat kerja menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia karyawan oursourcing. Penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran peraturan perusahaan di tempat kerja oleh karyawan outsourcing adalah tanggung jawab perusahaan penyedia karyawan outsourcing, sehingga karyawan outsourcing yang melakukan pelanggaran berat menurut peraturan perusahaan akan di-PHK, walaupun pelanggaran berat tersebut tidak termasuk pelanggaran berat dalam Pasal 150 UU Ketenagakerjaan, karena sejak diterbitkannya Putusan MK maka dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang digunakan adalah peraturan perusahaan yang disepakati bersama oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh di dalam Perjanjian Kerja Bersama di tingkat perusahaan

PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI TENTANG  OUTSOURCING
    Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, sistem pekerja lepas “outsourcing” merupakan sistem yang sangat tidak memberikan perlindungan kepada pekerja terutama untuk kaum lemah.
“Untuk itu kami memutuskan melarang adanya sistem “outsourcing” untuk melindung masyarakt kecil dari kesemena-menaan pihak-pihak terkait,” kata Mahfud pada pertemuan dengan tokoh masyarakat Kalimantan Selatan di Banjarmasin, Jumat (20/1)
Sebelumnya, MK menilai UU Ketenagakerjaan Pasal 65 dan Pasal 66 mengenai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya akibat sistem kontrak, menyebabkan para pekerja kehilangan jaminan atas kelangsungan kerja.
Adapun pengusaha yang mempekerjakan pekerja kontrak lebih efisien, ditinjau dari keuangan perusahaan. Soalnya, perusahaan tidak perlu memberi fasilitas sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003.

MENAKER TENTANG PUTUSAN MK TENTANG OUTSOURCING
    Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Mennakertrans) Muhaimin Iskandar menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait peraturan outsourcing itu sudah final. Itu berarti putusan MK harus dijalankan.
“Tidak ada yang berani menolak putusan MK. Keputusan itu harus dijalankan,” ujar Muhaimin kepada wartawan usai menghadiri peresmian Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) di DPP Sarbumusi, Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, Senin (23/1/2012).
Muhaimin juga menerangkan, dirinya sudah melakukan komunikasi dengan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofyan Wanandi dan dari Apindo sendiri justru akan menindaklanjuti putusan tersebut untuk dibuat peraturan perundang-undangan yang lebih rigid atau pasti.
“Apindo menyambut baik putusan MK dan akan menindaklanjuti pada aturan yang lebih rigid,” tutur Muhaimin

SUARA SERIKAT PEKERJA
    outsourcing adalah sistem kerja yang melepaskan tanggung jawab atas peningkatan;kualitas,kelayakan para pekerja kedepan karena sistem komunikasi tentang hak dan kewajiban antara pemberi kerja dan pencari kerja diwakili oleh lintas perusahaan yang sama-sama mencari keuntungan dari keringat para pencari kerja tersebut.
outsourcing adalah sebuah upaya pengebirian undang-undang ketenagakerjaan tentang pesangon dan pensiun,jaminan 

No comments:

Post a Comment