Siwa
Ratri (Siwa Latri) diartikan sebagai “malam siwa”, karena pada hari
tersebut Tuhan yang bermanifestasi sebagai
Sang Hyang Siwa beryoga. Hari suci ini jatuh pada purwaning tilem sasih kepitu,
yaitu untuk memohon pengampunan dosa ke hadapan Hyang Widhi Wasa. Hari raya
Siwa Ratri juga disebut malam peleburan dosa.
Brata Siwarâtri terdiri dari:
1. Utama, melaksanakan:
* Monabrata (Berdiam diri dan tidak berbicara).
* Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
* Jagra (berjaga, tidak tidur).
2. Madhya, melaksanakan:
* Upawasa.
* Jagra.
3.Nista, hanya melaksanakan:
* Jagra.
Di Bali, Siwaratri selalu dikaitkan dengan cerita Lubdaka yang dikarang oleh Mpu Tanakung seorang mpu besar di
zamannya.
Lubdaka dilukiskan sebagai pemburu yang tentu saja gemar membunuh binatang-binatang buruan di hutan. Pada suatu hari, ia tidak dapat binatang buruan, kemudian kemalaman dan dia naik pohon bila. Karena takut terjatuh yang akan menjadi santapan binatang buas, ia memetik daun bila dan dijatuhkannya ke dalam kolam. Maksudnya supaya dia tudak mengantuk dan tertidur. Ternyata yang dimaksudkan dengan kolam itu adalah kolam dan di situ ada stana Hyang Siwa. Lubdaka akhirnya mendapatkan anugerah, kelak ketika ia mati, otomatis ia akan masuk sorga. Dosa-dosanya sudah terlebur oleh bergadang semalam suntuk itu.
Brata Siwarâtri terdiri dari:
1. Utama, melaksanakan:
* Monabrata (Berdiam diri dan tidak berbicara).
* Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
* Jagra (berjaga, tidak tidur).
2. Madhya, melaksanakan:
* Upawasa.
* Jagra.
3.Nista, hanya melaksanakan:
* Jagra.
Di Bali, Siwaratri selalu dikaitkan dengan cerita Lubdaka yang dikarang oleh Mpu Tanakung seorang mpu besar di
zamannya.
Lubdaka dilukiskan sebagai pemburu yang tentu saja gemar membunuh binatang-binatang buruan di hutan. Pada suatu hari, ia tidak dapat binatang buruan, kemudian kemalaman dan dia naik pohon bila. Karena takut terjatuh yang akan menjadi santapan binatang buas, ia memetik daun bila dan dijatuhkannya ke dalam kolam. Maksudnya supaya dia tudak mengantuk dan tertidur. Ternyata yang dimaksudkan dengan kolam itu adalah kolam dan di situ ada stana Hyang Siwa. Lubdaka akhirnya mendapatkan anugerah, kelak ketika ia mati, otomatis ia akan masuk sorga. Dosa-dosanya sudah terlebur oleh bergadang semalam suntuk itu.
Jadi kisah Lubdaka bisa kita tafsirkan
sebagai barikut:
Lubdaka seorang pemburu bisa kita tafsirkan sebagai Lubdaka yang tidak pernah puas dengan keadaan dirinya. Ia selalu memburu dan mencari-cari ilmu pengetahuan, memburu kebajikan, memburu sifat-sifat baik. Untuk itulah ia tidak tega-tega melakukan pembunuhan, yang dibunuh adalah nafsu angkara murka, sad ripu, dan segala yang bertentangan dengan ajaran kebajikan.
Ketika ia merasa telah membunuh semua "sifat-sifat hewan dalam dirinya" maka ia melakukan suatu perenungan. Ia tidak berbicara, atau berbicara dengan perkataan yang terjaga. Ia melakukan upawasa atau puasa. Ia melakukan samadi pada malam yang paling gelap dalam putaran waktu selama setahun, untuk semalaman.
Lubdaka seorang pemburu bisa kita tafsirkan sebagai Lubdaka yang tidak pernah puas dengan keadaan dirinya. Ia selalu memburu dan mencari-cari ilmu pengetahuan, memburu kebajikan, memburu sifat-sifat baik. Untuk itulah ia tidak tega-tega melakukan pembunuhan, yang dibunuh adalah nafsu angkara murka, sad ripu, dan segala yang bertentangan dengan ajaran kebajikan.
Ketika ia merasa telah membunuh semua "sifat-sifat hewan dalam dirinya" maka ia melakukan suatu perenungan. Ia tidak berbicara, atau berbicara dengan perkataan yang terjaga. Ia melakukan upawasa atau puasa. Ia melakukan samadi pada malam yang paling gelap dalam putaran waktu selama setahun, untuk semalaman.
Daun bila yang dipetik dan dijatuhkankannya, adalah butir-butir genitri untuk melakukan pemujaan dan pada butir genitri yang ke 108 itulah samadi Lubdaka mendapatkan hasil. Yaitu Ketenangan, kebahagiaan hidup tanpa lagi terikat pada materi. Ia sudah mencapai tingkat spiritual yang tinggi. Dan pada saat ia meninggal dunia ia telah siap secara spiritual. Lubdaka pun mencapai ketenangan di alam sana, di mana kita tidak bisa melukiskannya tempat itu, dan untuk memudahkannya kita sebut saja sorga.
Dengan demikian maka merayakan Hari Siwaratri adalah melakukanperenungan pada malam Siwa, malam tergelap dalam putaran waktu setahun. Perenungan yang disertai dengan pengendalian diri, berbicara yang baik, tidak makan minum, dan melakukan semedi dan japa berulang-ulang. Kita tidak tahu, kapan kita akan meninggal dunia. Walau memang cepat tapi kita tak ada kekuatan untuk menundanya, kita telah pernah melakukan sebuah perenungan di malam Siwa (Siwaratri). Jika kita sebagai manusia diberi umur panjang, kita masih akan bisa melewati malam Siwa yang akan datang. Betapa bahagianya jika kita bisa melakukan perenungan itu setiap tahun.
No comments:
Post a Comment