Search This Blog

Monday 23 February 2015

10 Tokoh-tokoh Sejarah yang Melawan Belanda

1. PATIMURA

Setelah perjanjian antara Inggris dan Belanda ditandatangani pada tahun 1814 di Wina, wilayah Indnesia kembali berada di bawah kekuasaan Belanda. Pada tahun 1816, Inggris menyerahkan Maluku kepada Belanda. Perlakuan Belanda yang sewenang–wenang sangat menyiksa rakyat Maluku.

Pada tahun 1817 Patimura alias Thomas Matulesi memimpin rakyat Maluku untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Patimura berhasil merebut benteng yang merupakan lambang kekuasaan Colonial Belanda. Di bawah pimpinan Mayor Betjees, Belanda mendatangkan pasukan dari Ambon untuk merebut benteng tersebut. Akibatnya, terjadi pertempuran yang sangat hebat. Mayor Betjees dan beberapa perwira Belanda tewas.

Akibat kekalahan itu Belanda menyerang Maluku dari segala arah. Pembantu Patimura yang bernama Martha Christina Tiahahu meninggal dalam tahanan Belanda. Adapun Patimura dihukum gantung pada tanggal 16 Desember 1817 di depan benteng Victoria di Ambon.


2. TUANKU IMAM BONJOL

Perselisihan antara kaum agama ( Padri ) dengan kaum adat dimanfaatkan Belanda. Belanda menjalankan politik adu domba. Terjadilah peperangan kaum Padri dengan kaum Adat yang dibantu oleh Belanda. Akan tetapi, baik kaum adat maupun kaum agama, lambat laun menyadari bahwa mereka telah dimanfaatkan oleh Belanda. Akhirnya terjadilah perlawanan terhadap Belanda yang dimpin oleh tuankun Imam Bonjol.
Imam Bonjol ditangkap pada tahun 1837 karena kelicikan Belanda.

3. PANGERAN DIPONEGORO

Perlawanan terhadap Belanda di Jawa Tengah dipimpin oleh Pangeran Diponegeoro. Penyebabnya adalah tindakan Belanda yang sewenang– wenang dalam berbagai bidang sehingga rakyat semakin menderita. Timbul pemberontakan di mana–mana.

Kemarahan rakyat semakin menjadi ketika mereka mengetahui niat Belanda untuk membuat jalan kereta apai antara kota Yogyakarta dan Magelang yang melintasi pemakaman leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Mereka mencabuti patok–patok yang telah ditancap oleh Belanda dan menggantinya dengan tombak. A. H. Smissaert, seorang presiden Belanda, mengetahui hal itu dan menganggapnya sebagai tindakan pembangkangan.

Pada tanggal 25 Juni 1825, pecahlah perang Diponegoro Pangeran Diponegoro banyak dibantu oleh rakyat Jawa Tengah, termasuk para bangsawannya, seperti Pangeran Joyokusumo, Pangeran Suryamataram, Ario Prangwodani, dan Pangeran Mangkubumi. Para ulama seperti Kyai Maja dan Kyai Hasan Basri pun turut membantunya sehingga perang ini disebut Perang Sabil.

Pangeran Diponegoro menetapkan taktik gerilya, yaitu menyerbu secara tiba – tiba kemudian menghilang. Hal ini sangat menyulitkan Belanda.
Pada tahun 1827 Belanda menugasi Jenderal Marcus de Kock untuk menumpas pasukan Diponegoro. Akibat kelicikan Belanda, Pangeran Diponegoro ditangkap pada saat perundingan pada tahun 1830.

4. PANGERAN ANTASARI

Adanya perebutan kekuasaan antara Pangeran Amir dan Pangeran Nata dijadikan Belanda sebagai kesempatan untuk menanamkan politiknya. Pangeran Nata menyetujui perjanjian dengan Belanda karena negara tersebut berjanji menolongnya untuk menduduki tahta Kerajaan Banjar.

Perjanjian itu menyebutkan bahwa Kerajaan Banjar adalah milik VOC. Dengan demikian, VOC mempunyai hak untuk ikut campr dalam pengang katan Sultan Banjar. Pengeran Nata berhasil merebut tahta, sedangkan Pangeran Amir dibuang ke Sailan pada tahun 1786.

Pada masa pemerintahan Sultan Adam, Belanda pun ikut menentukan pengangkatan Sultan Banjar. Tanpa menghiraukan wasiat Sultan Adam yang menunjuk Pangeran Hidayat untuk menggantikannya, Belanda justru mengangkat Pangeran Tamjidilah sebagai Sultan Banjar. Akibatnya rakyat menjadi marah. Terjadi pemberontakan dimana–mana.

Kemudian pada tanggal 28 April 1859, Pangeran Antasari berhasil memimpin rakyat untuk menduduki Martapura. Benteng pertahanan di Tabanio dan Gunung Luwak berhasil diduduki oleh Antasari.

Namun Belanda berhasil merebut kembali kedua benteng itu. Pangeran Antasari terus menerus memimpin pasukannya untuk menyerang Belanda. Ketika Pangeran Hidayat tertangkap Belanda, Pangeran Antasari segera meninggalkan Banjar dan membuat benteng pertahanan di Dusun Hulu.
Belanda berusaha menjebak dengan mengajak Pangeran Antasari untuk mengadakan perjanjian. Akan tetapi, Pangeran Antasari menolaknya. Pangeran Antasari kemudian wafat karena terserang penyakit cacar.

5. RAJA BULELENG
Raja Buleleng mempunyai nama asli I Gusti Ketut Jelantik. Ia sangat menentang pemerintahan Belanda.
Pada tahun 1846 Belanda memerintahkan Raja Buleleng untuk segera mengakui kekuasaan Belanda. Raja Buleleng mengadakan perlawanan dengan membuat benteng Jagabaya. Pada tahun 1849 Belanda berhasil menguasai Bali.

6. SISINGAMANGARAJA XII
Sisingamangaraja XII mengadakan perlawanan terhadap Belanda dari daerah Tapanuli. Perlawanannya sangat gigih sehingga berhasil mematahkan serangan Belanda. Pada tahun 1907 Belanda, di bawah pimpinan Kapten Christoffel, menyerbu pertahanan Sisingamangaraja sehingga ia pun gugur di medan laga.


7. TEUKU UMAR
Setelah Teuku Ibrahim gugur dalam pertempuran melawan Belanda, muncullah Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Din dibantu Teuku Cik Ditiro dan Panglima Polim. Mereka adalah para pejuang rakyat Aceh yang sangat gigih. Pemimpin Belanda yang bernama Kohler tewas dalam pertempuran yang dipimpin oleh Teuku Umar, Belanda kemudian mengirim Dr. Shock Hugronje untuk mempelajari kebiasaan rakyat Aceh dengan menyamar sebagai seorang ahli Islam. Setelah menguasai kebiasaan rakyat Aceh, Belanda dapat mematahkan Aceh. Pada tahun 1899 Teuku Umar gugur dalam sebuah pertempuran.

8.    Cut Nyak Dhien (Lampadang, 1848 – 6
November 1908, Sumedang, Jawa Barat; dimakamkan di Gunung Puyuh,
Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang
berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh.Kehidupan
AwalCut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat
beragama di Lampadang, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya
bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga
merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat.
Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18, dimana Aceh
diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Karena itu, Ayah dari
Cut Nyak Dhien adalah keturunan Minangkabau<1><2>. Ibu Cut Nyak Dhien
adalah putri uleebalang Lampagar.Pada masa kecilnya, Cut Nyak
Dhien adalah anak yang cantik.<2> Sewaktu kecil, ia memperoleh
pendidikan pada bidang agama yang dididik oleh orang tua ataupun guru
agama, rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut
kehidupan sehari-hari) yang dididik baik oleh orang tuanya. Dan juga,
banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha
melamarnya. Sehingga pada usia 12 tahun, dia sudah dinikahkan oleh
orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga<3><2>,
putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak
laki-laki.Perlawanan saat Perang AcehPada tanggal 26
Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citdadel
van Antwerpen. Sehingga meletuslah Perang Aceh. Perang pertama
(1873-1874), yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud
Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Saat itu, Belanda mengirim
3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di
Pantai Ceureumen dibawah pimpinan Kohler, dan langsung bisa menguasai
Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat
hal ini berteriak:“ Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat
ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai
kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak
Belanda?.<2>”Saat itu, Kesultanan Aceh dapat memenangi
perang ini. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali
dengan sorak kemenangan. Dan Kohler tewas tertembak pada April
1873.Namun pada perang kedua (1874-1880), dibawah pimpinan
Jenderal Van Swieten. Daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada
tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak
Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan
lainnya pada tanggal 24 Desember 1875, dimana suaminya bertempur
untuk merebut kembali daerah VI Mukim. Namun, Ibrahim Lamnga tewas di
Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien
sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. Setelah itu,
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Tadinya Cut
Nyak Dhien menolak, namun karena Teuku Umar mempersilahkannya untuk
ikut bertempur dalam medan perang. Cut Nyak Dien akhirnya menikah
lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya
moral semangat perjuangan Aceh melawan Kapke Ulanda (Belanda Kafir).

Pada saat Perang ketiga (1881-1896)
meletus, perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang
fi''sabilillah. Hal buruk terjadi untuk Aceh, Teuku Umar mulai
mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat.
Cut Nyak Dhien dan rakyat Aceh khawatir akan hal ini, sampai Cut Nyak
Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya.<2> Cut Nyak Dien
berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Tapi, ia masih
terus berhubungan dengan Belanda. Dan juga, pada saat orang Belanda
datang ke rumahnya, Cut Nyak Dhien selalu menyingkir dari situ. Lalu
pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang
berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan menyerahkan diri kepada
Belanda. Lalu, Belanda memberi Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan
Pahlawan. Teuku Umar mengikuti perintah Belanda dengan merebut daerah
pejuang Aceh. Namun, akhirnya Teuku Umar menunjukan bahwa dia hanya
menipu Belanda dalam sandiwara untuk mendapatkan senjata-senjata
dengan mengkhianatinya saat ia dan pasukannya diberi senjata oleh
Belanda. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar
(penghianatan Teuku Umar). Akibat dari penghianatan ini, Belanda
mencabut gelarnya dan membakar rumahnya. Dan Belanda terus mengejar
keberadaannya, sampai Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk
menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Dan akhirnya, Teuku
Umar gugur tertembak peluru. Karena hal ini, Cut Nyak Dien memimpin
pasukan pada usianya yang ke 50 tahun melawan Kapke Ulanda (Belanda
Kafir).Pada Perang keempat (1896-1910), Cut Nyak Dien memimpin
perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama
pasukan kecilnya. Tetapi, tentara Belanda sudah terbiasa berperang di
medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien semakin tua. Matanya
sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok. Selain itu jumlah
pasukannya terus berkurang, dan sulitnya memperoleh makanan. Hal ini
membuat iba para pasukan-pasukannya. Sehingga, salah satu pasukannya
bernama Pang Laot melaporkan lokasi markas Cut Nyak Dien pada Belanda
karena iba.<4> Lalu, segera, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien.
Sebelum ditangkap, Cut Nya Dien mengambil rencong dan hendak membunuh
Pang Laot dengan rencong, namun aksinya berhasil dihentikan oleh
Belanda.MeninggalSetelah tertangkap, ia dibawa ke Banda
Aceh dan ia dirawat disitu. Penyakitnya berangsur-angsur sembuh.
Namun, karena Belanda takut kehadirannya membuat semangat perlawanan,
selain itu karena terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk,
akhirnya Belanda kesal dan akhirnya ia dibuang ke Sumedang, Jawa
Barat. Akhirnya pada tanggal 6 November 1908, ia meninggal karena
usianya yang sudah tua. Karena perjuangannya, Cut Nyak Dien
dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Penobatan tersebut
dikuatkan dengan SK Presiden RI No.106 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei
1964.

9.    Martha Christina Tiahahu (lahir di Nusa Laut, Maluku, 4 Januari 1800 – meninggal di Laut Banda, Maluku, 2 Januari 1818 pada umur 17 tahun) adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Lahir sekitar tahun 1800 dan pada waktu mengangkat senjata melawan penjajah Belanda berumur 17 tahun. Ayahnya adalah Kapitan Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas Matulessy dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.
Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen terhadap cita-cita perjuangannya.
10. Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia berlatarbelakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul Wathan.
Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.
Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.
Sudirman yang dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian  menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.
Sementara pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan tentara Jepang  yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945,  pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya.
Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.
Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.
Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.
Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.
Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun.
Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.




5 comments: